Hutan memiliki peran penting bagi kehidupan. Tidak mengherankan apabila peran hutan ini pernah dimanifestasikan oleh Bank Indonesia melalui uang koin 100 rupiah tahun emisi 1978. Koin ini memiliki berat 7 gram, diameter 28,5 mm, dan tebal 1,4 mm.
Satu sisi uang koin 100 rupiah ini bergambar Rumah Gadang dari Sumatera Barat. Sedangkan sisi lainnya bergambar gunungan dengan tulisan “Hutan untuk Kesejahteraan”. Bila diperhatikan lebih cermat, gambar gunungan ini memiliki berbagai unsur, antara lain pohon dan gapura rumah dengan dua penjaganya.
Dalam budaya Jawa, gunungan digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Gunungan yang juga disebut kayon biasanya dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan ornamennya, yaitu kayon blumbangan dan kayon gapuran.
Kayon blumbangan memiliki ornamen khas berupa kolam atau blumbangan, sedangkan kayon gapuran mempunyai ornamen khas berupa gapura dengan dua penjaganya. Kedua kayon tersebut, baik blumbangan maupun gapuran, memiliki ornamen umum berupa pohon dan beberapa jenis satwa.
Ornamen pohon (hutan) tidak hanya ditemukan pada gunungan milik masyarakat Jawa. Suku-suku lain di Indonesia juga menjadikan pohon sebagai ornamen pada hasil seni mereka.
Ukiran khas masyarakat Dayak biasanya memiliki ornamen berupa pohon, bunga anggrek, dan beberapa jenis satwa. Sementara pada seni ukir Suku Asmat, ornamen pohon juga lazim digunakan bersama ornamen lainnya (satwa, orang berburu, atau orang naik perahu).
Hasil-hasil seni ini menunjukkan bahwa pohon dan hutan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia sejak dahulu. Hutan tropis Indonesia memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan.
Manfaat hutan tidak hanya dinikmati oleh manusia tetapi juga untuk makhluk hidup lainnya. Manfaat tersebut bisa dikelompokkan secara klimatologis, hidrolis, ekologis, ekonomis, dan medis.
Secara klimatologis, hutan punya peran dalam mengatur iklim secara mikro dan makro. Pengalihfungsian hutan bila tidak dilakukan secara tepat bisa menimbulkan bencana dan ketidakstabilan iklim.
Hutan juga menjadi paru-paru dunia dan menahan pemanasan global. Jutaan pohon di hutan akan menyerap karbondioksida kemudian menghasilkan oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup untuk bernapas. Pohon-pohon di hutan juga menyerap karbondioksida untuk proses fotosintesis, yang hasilnya disimpan di daun, kayu, dan akar. Penyerapan karbondioksida ini sekaligus mencegah pemanasan global.
Secara hidrolis, hutan mempunyai fungsi sebagai tempat cadangan air tanah. Hal ini membantu menghindarkan terjadinya longsor dan banjir. Manfaat hidrolis lainnya yang disediakan hutan yaitu mengatur tata air serta mencegah intrusi air asin (pada hutan mangrove).
Secara ekologis, hutan berperan dalam menjaga kesuburan tanah dengan banyaknya tanaman dan jatuhan dedaunan yang akan menjadi humus. Selain itu, hutan mampu menyerap air dalam jumlah besar sehingga bisa menahan banjir dan erosi.
Secara ekonomis, hutan menyediakan tempat bagi masyarakat adat yang tinggal dan bergantung pada sumber daya hutan. Hasil hutan seperti kayu, getah, madu, dan lainnya juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya bahkan menjadi penghasil devisa negara.
Secara medis, hutan menyediakan obat dan antibiotik. Misalnya pohon kakao sebagai obat antikanker dan pohon bakau sebagai antibiotik. Udara segar di hutan juga mampu menghilangkan stres serta meningkatkan kekebalan tubuh.
Indonesia memiliki hutan hujan tropis dengan luas terbesar ke-3 di dunia, setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Hutan hujan tropis ini bioma (wilayah yang di dalamnya terdapat berbagai macam ekosistem dengan ciri utama vegetasi klimaks dan sebagian besar dipengaruhi oleh iklim) terbesar di bumi. Lebih dari 3.000 spesies flora tumbuh di hutan hujan tropis. Sedangkan fauna yang banyak ditemukan seperti burung, kupu-kupu, hingga mamalia.
Faktanya, luas hutan di Indonesia terus berkurang. Dikutip dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tutupan hutan yang dimiliki Indonesia pada tahun 2021 seluas 101,22 juta hektar (ha). Tutupan hutan tersebut berada di wilayah Papua (32,88 juta ha), Kalimantan (28,53 juta ha), Sumatra (16,05 juta ha), Sulawesi (11,60 juta ha), Maluku (6,78 juta ha), Bali-Nusa Tenggara (2,74 juta ha), dan Jawa (2,64 juta ha).
Namun, luas tutupan hutan di Indonesia tersebut sudah berkurang selama periode 2017-2021. Luas hutan di Kalimantan dan Papua paling banyak berkurang, masing-masing 654.663 hektar dan 610.405 hektar.
Pemanfaatan dan pengalihfungsian lahan hutan kadang dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Lahan hutan dibabat dan dibakar, yang tentunya memberikan dampak negatif.
Dikutip dari kompas.id, luas hutan dan lahan yang terbakar hingga Mei 2023 mencapai 28.020 hektar (ha). Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terbesar terjadi di provinsi Nusa Tenggara Timur (5.211 ha), kemudian disusul Kalimantan Barat (4.172 ha), Lampung (2.272 ha), Sulawesi Tenggara (1.961 ha), Maluku (1.953 ha), dan Riau (1.860 ha).
Karhutla yang terjadi di Indonesia ini telah melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Hingga April 2023, emisi mencapai 2,8 juta ton setara karbon dioksida (CO2e). Dari jumlah tersebut, Kalimantan Barat menjadi wilayah penyumbang emisi terbesar hingga 1,05 juta ton CO2e.
Dampaknya, musim kemarau menjadi lebih panjang. Rata-rata musim kemarau di Kalimantan Barat yang biasanya terjadi pada Juli dan Agustus menjadi lebih panjang, yaitu dari Juni hingga September.
Kemarau yang lebih panjang ini memiliki dampak terhadap intrusi air asin di Sungai Kapuas, Kota Pontianak. Juga, meningkatkan potensi karhutla yang bisa menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Dari tahun ke tahun, luas hutan dan lahan yang terbakar memang cenderung mengalami penurunan. Dikutip dari kompas.id, pada tahun 2015 hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar seluas 2,5 juta hektar. Karhutla pada tahun 2016 seluas 438.363 ha, tahun 2017 seluas 165.484 ha, dan tahun 2018 seluas 529.267 ha.
Pada tahun 2019, luas karhutla sempat meningkat menjadi 1,649 juta ha, tetapi kembali menurun pada 2020 menjadi 296.942 ha, tahun 2021 seluas 358.867 ha, dan pada 2022 seluas 204.894 ha.
Namun, menurunnya karhutla dalam 3 tahun terakhir tersebut karena dukungan faktor alam. Fenomena La Nina yang terjadi sejak 2020 menyebabkan kemarau basah di sebagian besar wilayah Indonesia sehingga turut mengurangi potensi terjadinya karhutla.
Secara lebih luas, kebakaran hutan juga berkontribusi terhadap pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer. CO2 sebagai salah satu jenis gas yang dapat menangkap dan menahan panas matahari (efek rumah kaca) bisa berasal dari proses alam, seperti letusan gunung api atau kebakaran hutan alami. Selain itu, CO2 juga timbul dari aktivitas manusia terutama dari pembakaran energi fosil, serta deforestasi dan pembakaran hutan.
Menurut data National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang dikutip oleh Katadata, selama periode 1959-1986 konsentrasi CO2 di atmosfer rata-rata masih di bawah 350 parts per million (ppm). Namun, sejak 1987 levelnya naik hingga di atas 350 ppm.
Pada periode April-Juni 2022 konsentrasi CO2 di atmosfer mencapai rekor tertinggi yang pernah dicatat oleh NASA yaitu pada kisaran 420 ppm. Sementara pada Januari 2023 konsentrasinya berada di level 419 ppm, atau rekor tertinggi ke-4.
Seiring bertambahnya kadar CO2 di atmosfer, suhu permukaan bumi juga ikut naik. Pada periode 1981-2014 kenaikan tahunan suhu permukaan bumi berada di kisaran 0,1 °C sampai 0,7 °C dibanding suhu rata-rata tahunan periode 1951-1980. Namun, sejak 2015 kenaikan suhu tahunan selalu melebihi 0,8 °C.
Pemanasan global ini memiliki berbagai dampak. Seperti mencairnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, punahnya spesies hewan, wabah penyakit, krisis air bersih, gagal panen, krisis pangan, cuaca ekstrim, dan bencana alam.
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Perlu adanya upaya-upaya komprehensif dari pemangku kepentingan terkait untuk terus menjaga kelestarian hutan, termasuk di dalamnya mitigasi kebakaran hutan dan lahan.
Untuk menjaga hutan Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban membuat regulasi, melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya, serta memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Regulasi tersebut wajib dipatuhi oleh semua pihak, baik korporasi maupun masyarakat.
Di lingkup individu, masyarakat bisa melakukan hal-hal sederhana untuk mendukung pelestarian hutan. Seperti tidak membuang sampah sembarangan, bijak dalam mengonsumsi minyak sawit, ikut berpartisipasi dalam aksi penanaman pohon, serta memberikan edukasi pelestarian hutan melalui media sosial.
Sementara untuk mitigasi kebakaran hutan dan lahan, ketiga stakeholder (pemerintah, korporasi, dan masyarakat) juga punya peran penting dalam membuat atau mematuhi regulasi. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi juga bisa dilakukan misalnya dalam pemantauan titik api (hotspot), penggunaan teknologi modifikasi cuaca, dan water bombing.
Perlu komitmen setiap pemangku kepentingan untuk #BersamaBergerakBerdaya #UntukmuBumiku dalam menjaga kelestarian hutan. Karena hutan untuk kesejahteraan, seperti yang tertulis pada uang logam 100 rupiah tahun 1978.
Meski uang ini telah di-demonetisasi sejak tahun 2002, tetapi pesan untuk menjaga hutan Indonesia tetap relevan hingga kini. Yuk #BersamaBergerakBerdaya menjaga hutan!