Bicara soal media sosial, saya teringat satu quote dari Mother Teresa. “Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless,” atau dalam bahasa Indonesia berarti kata-kata baik bisa pendek dan gampang diucapkan, tetapi gemanya benar-benar tidak ada habisnya.
Kata-kata menjadi bagian hidup. Setiap hari kita berkomunikasi dengan kata-kata. Wanita mengucapkan 13-20 ribu kata, sementara pria 6-10 ribu kata setiap hari. Begitu hasil sebuah studi yang pernah saya baca.
Kata-kata bisa kita ungkapkan melalui saluran komunikasi lainnya, baik secara lisan maupun teks. Dua atau tiga dekade yang lalu kita masih menggunakan surat atau kartu pos untuk berkomunikasi dengan orang lain yang tidak bisa kita temui secara langsung.
Di masa sekarang, media sosial menjadi saluran komunikasi dan bagian tak terpisahkan dalam hidup. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, pria dan wanita, hampir setiap hari memposting atau sekadar membaca informasi di media sosial. Bisa dibilang, tiada hari tanpa media sosial.
Pada masa pandemi ini, penggunaan media sosial makin meningkat. Pembatasan kegiatan fisik memaksa kita mengalihkan sebagian besar aktivitas ke dunia maya. Work from home. School from home. Memesan makanan. Belanja online. Rapat daring. Dan tak ketinggalan, menggunakan media sosial.
Kekuatan Dahsyat Media Sosial
Media sosial pada awalnya digunakan untuk menjalin silaturahmi. Saya pertama kali membuat akun Facebook pada tahun 2009. Di tahun-tahun berikutnya berlanjut dengan membuat akun Twitter, Instagram, Youtube, Linkedin, Path (yang sekarang sudah ditutup), dan Tiktok.
Media sosial berhasil menghubungkan saya kembali dengan teman-teman SMP dan SMA yang sudah berpisah bertahun-tahun. Unggahan receh, ringan dan santai menghias linimasa, yang kemudian berbalas dengan komentar santai atau canda dari teman-teman. Media sosial juga menjadi sarana bagi saya untuk mencari informasi, berita, dan hiburan.
Dalam perkembangannya, media sosial tak lagi hanya digunakan sebagai kanal informasi dan silaturahmi. Ia berkembang menjadi sarana untuk menyampaikan opini atau berita yang berdampak besar, baik positif maupun negatif. Ia bisa mengubah pemikiran seseorang, bahkan hingga memicu peristiwa besar atau revolusi di suatu negara.
Di tahun 2010 aksi yang memanfaatkan Facebook dan Twitter berbuah Revolusi Tunisia. Penggunaan Facebook juga berkontibusi terhadap terjadinya Revolusi Mesir 2011. Sementara di Indonesia, pada tahun 2016 Buni Yani mengunggah potongan pidato Basuki Tjahaja Purnama di Facebook dengan judul “Penistaan Terhadap Agama?” yang kemudian menggerakkan aksi massa 212.
Media Sosial di Masa Pandemi
Penggunaan media sosial yang makin meningkat di masa pandemi ini memberi pengaruh, baik positif maupun negatif. Masyarakat dengan gampang dan cepat bisa mengakses beragam informasi. Mulai dari perkembangan kasus COVID-19 dari hari ke hari, bagaimana melakukan 3M untuk mencegah penularan, bagaimana mendapatkan vaksin, hingga mencari hiburan untuk melepas stres akibat pandemi.
Di sisi lain, berita bohong atau hoaks juga hadir di media sosial. Misalnya terkait virus, vaksin, dan sebagainya. Saat informasi ini dibaca oleh orang yang kurang kritis, bisa saja itu dianggap sebagai kebenaran. Mereka kemudian menyebarkannya, tanpa memeriksa validitasnya.
Ada adagium populer dari Adolf Hitler. “Kebohongan yang diulang terus-menerus bisa menjadi kebenaran”. Adagium dari masa perang dunia beberapa dasawarsa lalu ini ternyata masih berlaku hingga era media sosial saat ini. Hoaks yang terus-menerus diulang dan disebarluaskan, bisa dianggap kebenaran oleh sebagian orang.
Tak mudah untuk mengubah pandangan seseorang atas ‘kebenaran’ tersebut. Meski banyak sumber kredibel yang menyatakan hal tersebut keliru, ia tak akan memercayainya. Dan sebaliknya ketika ada sumber abal-abal yang mendukung ‘kebenaran’ yang diyakininya, ia akan langsung menekan tombol ‘suka’ dan ‘sebarkan’ di media sosial.
Dampak dari hoaks di media sosial ini begitu luar biasa. Publik bisa menjadi saling curiga, tidak percaya kepada otoritas yang ada, bahkan timbul prasangka dan kebencian terhadap suatu kelompok.
Peran Influencer dalam Perkembangan Media Sosial
Para influencer punya peran dalam perkembangan media sosial. Dengan keuntungan yang dimiliki seperti jumlah pengikut yang banyak, konten yang diunggah oleh influencer di media sosial memiliki jangkauan pengaruh yang luas.
Di masa pandemi ini, influencer punya peran dan tanggung jawab besar. Ia tak hanya bertugas memproduksi konten yang baik, tetapi juga perlu memerhatikan potensi dampak yang ditimbulkannya.
Tak Sekadar Viral
Menghasilkan konten yang kemudian bisa menjadi viral memang banyak diidamkan oleh influencer. Namun, tidak semua yang viral itu baik.
Kita tentu masih ingat dengan seorang Youtuber di tahun 2020 yang sempat menggegerkan warganet dengan video prank ‘sampah’. Aksi tak terpuji dengan memberikan bingkisan berisi sampah tersebut membuatnya harus berurusan dengan penegak hukum.
Adalah lebih baik bila influencer membuat konten yang menginspirasi dan memotivasi. Konten tersebut mampu menggerakkan warganet untuk mematuhi protokol kesehatan, mengikuti vaksinasi, atau menjaga gaya hidup sehat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya?
Tak Sekadar Cuan
Semua orang perlu uang, tak terkecuali para influencer. Bagi influencer, media sosial merupakan lahan untuk mencari penghasilan.
Namun bukan berarti influencer menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Seperti memproduksi konten memaki-maki orang tua, mengumbar aurat, atau aksi menghentikan truk yang tengah melaju kencang.
Masih banyak hal positif yang bisa dilakukan untuk mendulang rupiah dari media sosial. Misalnya dengan promosi produk dari brand tertentu, atau hal lainnya.
Saring Dulu, Sharing Kemudian
Influencer punya peran terhadap distribusi informasi di ranah digital. Jangan sampai malah menjadi bagian dari penyebaran hoaks di media sosial, walaupun mungkin dilakukan secara tidak sengaja.
Hal yang dilakukan sederhana. Miliki sikap skeptis terhadap apapun yang melintas di linimasa. Saring terlebih dahulu setiap informasi yang masuk, sebelum membagikannya. Cek kebenarannya, pastikan dari sumber yang kredibel seperti Indozone.
Media sosial memiliki kekuatan yang dahsyat. Ia bagai sebuah pisau, yang bisa memberi manfaat dan mudharat sekaligus. Karenanya, bijaklah dalam menggunakannya.
Manfaatkan media sosial untuk menyebarkan konten yang baik, meski itu konten sederhana. Dengan sedikit memodifikasi petikan Mother Teresa, saya mengakhiri tulisan ini dengan kalimat ”konten-konten baik bisa sederhana dan gampang dibuat, tetapi gemanya benar-benar tidak ada habisnya.”