Tanggap perubahan iklim
Lingkungan

Menjadi Orang Muda Indonesia yang Tanggap terhadap Perubahan Iklim dan Perlindungan Hutan

[ A+ ] /[ A- ]

Suhu panas yang menyengat masih dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Di Jabodetabek, suhu bahkan bisa mencapai 37 derajat celsius pada siang hari. Hujan ringan memang kadang sempat turun, tetapi durasinya singkat. Tak cukup untuk menurunkan suhu dan mengusir hawa gerah.

Padahal saat ini sudah masuk bulan Oktober. Jika kita mengingat kembali pelajaran di sekolah pada tahun 90-an dulu, bulan Oktober seharusnya sudah masuk musim hujan. Buku tekstual pada masa itu menuliskan bahwa musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Oktober hingga Maret. Sedangkan musim kemarau dari April sampai September.

Namun, kemarau tahun 2023 sepertinya masih akan berlanjut. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan akhir musim kemarau tahun ini tidak bersamaan di berbagai wilayah.

Untuk wilayah Jawa dan Sumatera, musim kemarau diperkirakan berakhir hingga akhir bulan Oktober 2023 dan musim hujan akan dimulai pada November 2023. Sedangkan di wilayah lain seperti Nusa Tenggara, musim kemarau bisa sampai akhir tahun ini, bahkan awal tahun depan.

Dampak Perubahan Iklim

Musim kemarau yang berkepanjangan ini adalah salah satu dampak dari perubahan iklim. Fenomena perubahan klimatologis mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca.

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia telah mengalami perubahan klimatologis sejak tahun 2001 hingga 2019. Perubahan ini membawa dampak dan efek yang berbeda di setiap wilayah karena perbedaan geografis, iklim lokal, dan faktor lainnya.

Misalnya wilayah Jawa dan Bali dengan hujan berintensitas rendah, sedangkan wilayah Sulawesi dan Maluku dengan curah hujan tinggi. Selanjutnya, wilayah Sumatera dan Kalimantan dengan kemarau ekstrim, wilayah Nusa Tenggara dan Papua dengan cuaca tidak beraturan, serta wilayah Aceh dan Sumatera Utara dengan curah hujan dan suhu yang tinggi.

Perubahan iklim terjadi sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer. CO2 sebagai salah satu jenis gas yang dapat menangkap dan menahan panas matahari (efek rumah kaca) bisa berasal dari proses alam, seperti letusan gunung api atau kebakaran hutan alami. CO2 juga bisa timbul dari aktivitas manusia terutama dari pembakaran energi fosil, serta deforestasi dan pembakaran hutan.

Perubahan iklim menimbulkan beragam dampak negatif. Mulai dari terjadinya kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, mencairnya es kutub, badai dahsyat, banjir, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. 

Upaya Penanganan Perubahan Iklim

Perubahan iklim berkaitan dengan meningkatnya CO2 di atmosfer. Karenanya, upaya penanganan perubahan iklim juga terkait erat dengan gas tersebut.

Ada 3 hal yang bisa dilakukan untuk menangani perubahan iklim. Yaitu dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, pengembangan energi baru dan energi terbarukan, serta perlindungan hutan. Ketiga hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat CO2 yang bisa memengaruhi iklim.

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Setiap manusia meninggalkan jejak karbon di bumi. Beragam aktivitas yang kita lakukan menyebabkan peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Menurut Ruandha Agung Sugardiman (Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang dikutip dari kompas.id pada Juni 2023, ada lima sektor yang harus diturunkan emisi karbonnya di Indonesia.

Sektor-sektor tersebut adalah energi, limbah, industri, pertanian, dan kehutanan. Pengendalian di empat sektor hanya bisa dilakukan dengan penurunan emisi karbon yang dihasilkan. Sementara sektor kehutanan bisa menurunkan emisi sekaligus meningkatkan penyerapan karbon.

Di Indonesia, sektor kehutanan menjadi penyerap utama sekaligus penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Emisi terbesar berasal dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dekomposisi gambut, serta deforestasi. Karenanya, keberhasilan Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sangat bergantung pada sektor kehutanan.

Oleh pemerintah Indonesia, sebanyak 60 persen target penurunan emisi dibebankan pada sektor ini. Untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan di sektor kehutanan, diperlukan upaya pencegahan karhutla serta dekomposisi gambut.

Pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan

Sumber energi fosil seperti batubara, gas alam, dan minyak bumi yang saat ini masih kita pakai menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca. Selain itu, sumber energi ini tidak terbarukan dan suatu saat akan habis.

Pengembangan energi baru dan energi terbarukan adalah solusi tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia memiliki potensi energi baru dan energi terbarukan yang cukup besar. Ada beberapa potensi energi yang bisa dipergunakan di Indonesia yaitu energi tenaga surya, energi miktohidro dan energi air, energi angin, serta energi limbah biomassa.

Perlindungan Hutan

Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia. Hutan tropis ini mampu menyerap karbon 50 % lebih tinggi dibandingkan nontropis. Tak hanya itu, Indonesia juga punya hutan mangrove yang memiliki daya serap karbon 4-7 kali lebih tinggi dibandingkan hutan mineral.

Sayangnya, luas hutan di Indonesia terus berkurang. Dikutip dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tutupan hutan yang dimiliki Indonesia pada tahun 2021 seluas 101,22 juta hektar (ha). Tutupan hutan tersebut berada di wilayah Papua (32,88 juta ha), Kalimantan (28,53 juta ha), Sumatra (16,05 juta ha), Sulawesi (11,60 juta ha), Maluku (6,78 juta ha), Bali-Nusa Tenggara (2,74 juta ha), dan Jawa (2,64 juta ha).

Luas tutupan hutan ini sudah berkurang selama periode 2017-2021. Luas hutan di Kalimantan dan Papua paling banyak berkurang, masing-masing 654.663 hektar dan 610.405 hektar.

Upaya menahan laju deforestasi perlu dilakukan, meski menghadapi tantangan berat di tengah pembangunan masif yang membutuhkan lahan untuk pemukiman dan pangan sebagai konsekuensi dari terus bertambahnya penduduk. Jika deforestasi terus berlanjut, akan memberikan dampak yang semakin besar. Manfaat ekonomi yang didapat tidak akan sebanding dengan kerugian lingkungan.

Selain menahan laju deforestasi, upaya lain perlu dilakukan untuk melindungi hutan. Antara lain dengan penghijauan (reboisasi), sistem tebang pilih, sistem tebang tanam, serta pemberian sanksi bagi pelaku penebangan liar.

Tanggap terhadap Perubahan Iklim dan Perlindungan Hutan

Generasi muda memiliki peran besar dalam mendukung upaya penanganan perubahan iklim. Dengan energi dan kreativitas yang dimiliki, orang muda Indonesia harus tanggap dan menjadi bagian dari solusi untuk perubahan klimatologis tersebut.

Hal-hal sederhana #UntukmuBumiku bisa dilakukan. Antara lain:

Menggunakan Alat Transportasi Massal

Saat ini pemerintah terus meningkatkan pembangunan sarana transportasi massal berbahan bakar listrik. Dengan menggunakan alat transportasi massal dan mengurangi menggunakan kendaraan pribadi, kita menjadi bagian dari #TeamUpForImpact yang berperan dalam mengurangi emisi karbon.

Mengurangi Penggunaan Kertas

Dengan mengurangi pemakaian kertas, maka penggunaan kayu sebagai bahan baku juga berkurang. Dengan demikian, jumlah pohon yang ditebang dari hutan produksi juga bisa diminimalkan.

Ikut Serta dalam Gerakan Penghijauan

Selanjutnya, #MudaMudiBumi juga perlu aktif dalam gerakan penghijauan. Melalui penanaman pohon di hutan dan area lainnya, udara akan menjadi lebih sehat dan segar serta emisi karbon bisa ditekan.

Dengan melakukan hal-hal tersebut, harapan untuk bisa menjaga bumi ini bisa terwujud. Bumi menjadi tempat tinggal yang bisa kita pertahankan kenyamanan dan kelestariannya.

Demikian beberapa hal terkait perubahan iklim yang perlu kita perhatikan. Selain itu, kita perlu #BersamaBergerakBerdaya berperan aktif mengatasi perubahan iklim. Yuk share mimpi kamu terhadap penanganan isu perubahan iklim dan perlindungan hutan!

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *