Sustainable Construction untuk Mencapai Net Zero Emission
Lingkungan

Pentingnya Sustainable Construction untuk Mencapai Net Zero Emission

[ A+ ] /[ A- ]

Pembangunan yang berkembang pesat seringkali kurang memikirkan dampak terhadap lingkungan. Karenanya, perlu adanya perubahan dan gerakan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan “sustainable construction”, atau yang kerap disebut “green building”.

Seminar bertema Sustainable Construction berlangsung pada tanggal 5 Juli 2023 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, sebagai bagian dari event Indonesia Building Technology Expo (5-9 Juli 2023). Seminar ini mengupas secara tuntas sustainable construction dalam kaitannya dengan industri konstruksi di Indonesia.

Dalam seminar ini, hadir Maharany Putri, ST, ME (Head of Government and Public Relations Tatalogam Group) sebagai moderator, serta beberapa pakar di bidangnya dari kalangan akademisi, birokrasi, praktisi dan pelaku industri sebagai narasumber, yaitu:

  • Octavianus Bramantya, S.Kom (General Manager KADIN Net Zero)
  • Yodi Danusastro, GP (Founder & Direktur Yodaya Hijau Bestari)
  • Dr. Eng. Beta Paramita (Asisten Prof. Prodi Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Founder BeCool Indonesia)
  • Ir. Herman Supriadi, MM (Kepala Pusat Industri Hijau, Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Kementerian Perindustrian)
  • Ir. Nicodemus Daud, M.Si Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi (DJBK) Kementerian PUPR.

Gas Rumah Kaca dan Net Zero Emission

Dalam paparannya, Octavianus Bramantya, mengungkapkan bahwa industri baja, semen dan bahan kimia merupakan penghasil emisi teratas dan termasuk yang paling sulit untuk didekarbonisasi. Industri baja berkontribusi 4,1% dari total emisi CO2 dunia dan sekitar 3,2% dari semua gas rumah kaca (GRK). industri baja telah menyumbang emisi sebesar 15% dari emisi semua industri, dengan sekitar 70% emisi berasal dari penggunaan bahan bakar langsung dan sisanya datang secara tidak langsung dari listrik dan panas.

Semakin berkembangnya emisi CO2 dari berbagai sektor termasuk industri ini menjadi pertimbangan lahirnya berbagai kebijakan global yang mengontrol emisi CO2 didorong untuk diimplementasikan di seluruh dunia. Berdasarkan Paris Agreement, maka setiap negara memberikan komitmen penurunan GRK dalam bentuk target Nationally Determined Contribution (NDC).

Di Indonesia, pemerintah berkomitmen untuk mencapai target penurunan emisi maupun mencapai Net Zero Emission di tahun 2060. Net zero merupakan kondisi di mana emisi GRK dari aktivitas manusia diimbangi dengan pengurangan emisi atas aktivitas tersebut, yang berarti juga pengurangan GRK di atmosfer selama jangka waktu tertentu.

Lebih lanjut Octavianus menjelaskan bahwa penerapan net zero bagi korporasi bisa dilakukan dengan green house protocol (mengklasifikasikan pengukuran GRK), science based target (merencanakan target misal dalam setahun harus ada yang terpenuhi), dan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (perusahaan mengungkapkan strategi dan targetnya kepada publik tentang governance mereka).

Konsep Green Building

Sementara itu, Yodi Danusastro menyampaikan bahwa Indonesia turut menjadi anggota U.S. Green Building Council yang perwakilannya melalui Green Building Council Indonesia. Lebih dari 100 bangunan bersertifikasi green building di Indonesia, serta lebih dari 200 proyek green building sedang dilakukan di Indonesia.

Pelaksanaan green building melalui penggunaan bahan bangunan yang ketentuannya diatur dalam standard Greenship, USGBC (U.S. Green Building Council), Bangunan Gedung Hijau, EDGE (Excellence in Design for Greater Efficient).

Setidaknya ada 5 aspek untuk standar green building. Yaitu lahan hijau, efisiensi energi, efiesiensi air bersih, kesehatan manusia, serta material banguna. Konsep green building ini sangat diharapkan bisa mengurangi emisi GRK.

Penggunaan Cool Roof untuk Green Building

Beta Paramita menjelaskan tren pemanasan berlanjut dan suhu global yang ditandai dengan terjadinya fenomena Urban Heat Island (UHI). Fenomena ini ditandai dengan semakin meningkatnya suhu kawasan pusat kota dibandingkan dengan kawasan sekitarnya.

Fenomena tersebut dipengaruhi oleh padatnya bangunan di perkotaan. Gelombang pendek radiasi matahari yang terpantul pada material-material penutup kota menyebabkan panas yang terperangkap, sehingga menimbulkan peningkatan iklim mikro.

Dalam penelitiannya, Beta Paramita menemukan teknologi High Albedo yang digunakan pada atap dingin atau cool roof. Teknologi ini bisa diterapkan pada green building sebagai solusi dalam mengatasi pemanasan global sebagai dampak dari kepadatan bangunan, terutama pada kota-kota besar dan menimbulkan fenomena Urban Heat Island (UHI).

Industri Hijau di Bidang Konstruksi

Herman Supriadi mengungkapkan industri hijau dalam pengadaan barang dan jasa berkelanjutan di bidang konstruksi. Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat (UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian).

Standar Industri Hijau (SIH) menjadi acuan para pelaku industri dalam menyusun secara konsensus terkait dengan bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, pengelolaan limbah dan/atau aspek lain yang bertujuan untuk mewujudkan industri hijau.

SIH bertujuan untuk peningkatan daya saing dari sisi cost (biaya) yang berefek kepada peningkatan utilisasi. Selain itu juga untuk pemenuhan komitmen bangsa ini dalam menjaga keberlangsungan bumi tempat tinggal bersama.

Tantangan Pembangunan Infrastruktur

Selanjutnya, Nicodemus Daud menyampaikan pembangunan infrastruktur memiliki tantangan. Yaitu dapat memberikan efek negatif terhadap lingkungan (peningkatan GRK, degradasi tanah dan air), sosial) penggusuran karena pembebasan lahan), dan ekonomi (aktivitas ekonomi terganggu).

Untuk itu, diperlukan pengembangan infrastruktur berkelanjutan. Penerapan prinsip pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan berkelanjutan menjadi langkah strategis mengurangi dampak dari pembangunan.

Dukungan PT Tatalogam Lestari terhadap Sustainable Construction

PT Tatalogam Lestari merupakan perusahaan genteng metal dan baja ringan terbaik di Indonesia. Produk-produknya yaitu atap metal, genteng metal, dan baja ringan yang telah dikenal kualitasnya.

Beragam produk berkualitas tersebut turut dihadirkan di booth Tatalogam Group yang ada di Hall 6, ICE BSD dalam event Indonesia Building Technology Expo 2023.

PT Tatalogam Lestari berkomitmen penuh mendukung agenda hijau berkesinambungan. Dukungan terhadap sustainable construction ini diwujudkan melalui inovasi yang terus dilakukannya.

“Bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung melalui penelitian Dr. Eng Beta Paramita, kami mengembangkan teknologi cool roof yang dapat mengurangi panas hingga 6 derajat dan juga bisa merefleksikan sinar matahari sehingga tidak terjadi Urban Heat Island Effect,” ungkap Stephanus Koeswandi (Vice President of Operation PT Tatalogam Lestari).

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *