Potret Seorang Pensiunan Staf Paspampres – Kenangan Facebook hari ini menampilkan beberapa foto, video, status, dan check in yang pernah saya lakukan pada tanggal 23 Maret di berbagai tahun yang telah silam. Salah satu dari kenangan tersebut tercatat pada tahun 2012.
Kenangan 7 tahun lampau itu menunjukkan aktivitas check in saya di Kampung Pasekon, Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah kalimat saya sertakan di sana, “Menginap di rumah Bp Tatang pensiunan paspampres.”
Kisah itu memang sudah begitu lama berlalu, namun kenangannya tak terlupa hingga saat ini.
Pak Tatang, pemilik rumah di mana saya menginap karena kemalaman saat melakukan solo traveling, adalah seorang pensiunan staf paspampres. Ada sebuah impresi tersendiri mengenai kehidupan beliau yang saya dapatkan saat itu, dan saya sempat menulisnya panjang lebar di Kompasiana.
Rupanya artikel tentang Pak Tatang, yang sampai sekarang telah dibaca sebanyak lebih dari 11 ribu, menarik perhatian tim dari Kompasiana. Beberapa jam setelah tulisan saya unggah, Mas Nurul menelepon saya. Ia bertanya beberapa hal mengenai postingan di Kompasiana tersebut. Saya pun menjawabnya sesuai apa yang saya alami. Esok harinya, ternyata kisah Pak Tatang muncul di laman Kompas.com.
Tulisan warganet yang orisinal dan menarik memang kerap tersaji di Kompasiana. Mas Isjet pernah membuat presentasi yang berisi paparan Kompasiana sebagai website berita yang isinya bersumber dari kerumunan pengguna internet (crowdsourcing news). Beliau menyusun dan mempresentasikan materi tersebut di pelatihan yang diadakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Materi berisi dua bagian, pertama mengulas seputar crowdsourcing sebagai cara untuk menyampaikan berita, kedua berisi tips memverifikasi informasi yang berasal dari kerumunan warga. Materi itu ternyata dibaca oleh Jessica Weiss, mantan managing editor IJNET, yang langsung menghubungi mas Isjet untuk sebuah wawancara melalui surel.
Hasil wawancara tersebut diunggah oleh Jessica Weiis di laman ijnet.org, dan kisah pertemuan saya dengan Pak Tatang tertulis dalam satu paragraf singkat.
“Traveler Daniel Mashudi accidentally found himself in a house belonging to a former presidential guard, who was living in poverty. After he wrote about his experience on Kompasiana, KOMPAS.com contacted him by phone to verify the story and promote it as news.”
Tujuh tahun telah belalu sejak saya bertemu Pak Tatang. Hingga saat ini saya tidak mengetahui bagaimana kabar Pak Tatang. Kali ini saya menuliskan kembali kisah yang akan selalu tersimpan dalam kenangan saya.
***
Mengisi liburan long weekend kemarin, saya berwisata ke situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Berangkat seorang diri dari Tangerang menuju Terminal Kampung Rambutan karena tidak ada teman yang bisa menemani. Bis berangkat hari Jumat 23 Maret 2012 sekitar jam 10.00 dari Kampung Rambutan menuju Cianjur dan terkena macet yang cukup lama di Tol Ciawi sampai Puncak. Bus sampai di Cianjur sudah jam15.00, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan angkot dan ojek. Akhirnya saya sampai di Gunung Padang jam 16.30. Sekitar satu setengah jam saya berada di Gunung Padang untuk melihat ribuan batu yang berusia berpuluh abad berserakan di situs tersebut.
Sekitar jam 18.00 saya meninggalkan area tersebut. Hari sudah gelap dan akhirnya saya pun berhasil meminta tolong kepada penduduk setempat untuk mengantar saya dengan sepeda motornya ke jalan raya untuk selanjutnya naik kendaraan umum menuju ke Jakarta dan kembali ke Tangerang. Atas masukan dari penduduk tadi, saya diantarkan ke jalan raya di Cireunghas (masuk wilayah Sukabumi). Sampai di Cireunghas, perjalanan dilanjutkan dengan angkot.
Saat di angkot, saya bertanya ke sopir kalau mau ke Jakarta naik kendaraan apa. Alih-alih menjawab pertanyaan saya, si sopir dan kenek yang masih berusia 20-an tahun itu malah ganti bertanya kepada saya, “dari mana?” Setelah saya jawab soal kunjungan ke Gunung Padang, mereka menawari saya untuk keesokan paginya sekalian saja naik ke bukit yang tak jauh dari situ dan melihat pemandangan yang indah. Setelah berpikir sebentar, saya pun menyetujui tawaran mereka karena seandainya saya memaksa kembali ke Tangerang maka belum tentu saya bisa dengan cepat mendapat kendaraan karena hari sudah mulai malam.
Saya pun minta diantar ke penginapan terdekat yang ada, namun mereka jawab tidak ada penginapan di sekitar situ. Si kenek menawari saya untuk menginap di rumahnya saja. Saya pun menyetujui, walau saya belum kenal dengan mereka. Akhirnya kami pun berkenalan. Si sopir bernama Agus, dan keneknya bernama Bule. Bule juga memberi tahu saya, kalau tempat yang saya pakai menginap bukanlah tempat yang nyaman. Dan saya pun tak keberatan.
Singkat cerita, saya pun sampai rumah yang kami tuju yang berada di Kampung Pasekon, Sukaraja, Sukabumi. Di ruangan depan saya lihat sekelompok anak muda sedang berlatih musik (band). Bule mengantar saya ke rumah yang ada di belakangnya (berhimpitan dengan ruang musik), sementara Agus kembali ke rumahnya yang hanya beberapa meter saja dari situ. Begitu masuk ruang tamu yang remang-remang, saya melihat seorang pria yang berusia lanjut duduk di kursi sambil merokok. Bule memperkenalkan saya kepada pria tadi (Bule memanggil beliau Papi, walaupun beliau bukanlah ayahnya). Tak lupa Bule juga memperkenalkan beliau (namanya Pak Tatang) kepada saya, dan memberitahu bahwa Pak Tatang dulunya adalah seorang paspampres. Saya cukup kaget mendengar hal itu. Masakan seorang pensiunan paspampres tinggal di rumah yang sangat sederhana seperti ini?
Setelah saya mandi sebentar, kami bertiga kembali berbincang di atas karpet yang digelar di lantai ruang tamu. Mata saya menyapu ruangan yang temboknya tidak dicat. Dua buah kursi dan sebuah meja kayu berada di bagian paling depan di sisi selatan ruang tamu, dekat dengan jendela kaca. Dua buah lemari kayu berada di sisi timur. Sementara di sisi utara ada sebuah pesawat tv, sebuah pemutar dvd dan dua buah pengeras suara yang semuanya ditutup dengan kain dan ditempatkan di meja kayu. Enam buah sangkar yang berisi burung tergantung di ruang tamu dan sebuah lampu yang berdaya sekitar 10 watt menjadi penerang ruangan itu. Malam itu saya duduk di samping Pak Tatang yang tengah merokok, kami bersandar pada tembok di sisi barat. Sementara Bule duduk di depan kami sambil memperbaiki sebuah alat pancing.
Sambil sesekali mengisap rokoknya, Pak Tatang pun menceritakan bahwa saat ini beliau berusia 71 tahun dan walaupun sudah berusia lanjut, suara beliau masih jelas terdengar. Istri beliau sudah lama berpulang, dan beliau memiliki dua orang anak yang tinggal di dekat rumahnya. Dahulu beliau adalah seorang staf paspampres dari tahun 1965 (saat itu bernama Cakrabirawa) sampai tahun 1995. Jadi beliau bertugas selama 30 tahun, sejak masa pemerintahan Presidan Soekarno sampai Presiden Soeharto. Paspampres atau Cakrabirawa adalah pasukan pengawal presiden yang berasal dari empat kesatuan / angkatan yang ada yaitu AD, AL, AU dan Kepolisian. Kantor tempat beliau bertugas berada di Jalan Kesehatan dan berada di samping Istana Negara di Gambir.
Saya yang sebenarnya awam dengan dunia kemiliteran, mencoba mengajukan beberapa pertanyaan kepada Pak Tatang. Misalnya soal siapa saja pemimpin atau komandan Cakrabirawa, dan Pak Tatang menjawab bahwa beliau sudah agak lupa nama-nama pemimpinnya dulu. Salah satunya yang masih diingat adalah Pak Pranowo, kata Pak Tatang sambil menunjuk sebuah foto yang sudah memudar warnanya yang menempel di dinding (gambar di atas). Pada foto tersebut, di sebelah kiri adalah Pak Pranowo yang sedang memberikan bingkisan kepada Pak Tatang dalam sebuah acara hari ulang tahun paspampres.
Saat masih aktif sebagai staf paspampres, kadang Pak Tatang juga nyambi profesi lainnya seperti pedagang makanan, tukang becak atau pekerjaan lainnya. Dan ketika sedang libur, beliau bersama teman-temannya sering bersepeda ke luar Jakarta, seperti Karawang atau Tangerang. Beliau juga menyebut ada sebuah jembatan rel kereta api yang panjang di Serpong, Tangerang (dan saya sendiri tidak tahu mengenai jembatan ini). Obrolan malam itu pun berlangsung tidak lama, mungkin tak lebih dari satu jam dan selanjutnya saya dan Bule tidur di karpet di ruang tamu sementara Pak Tatang beristirahat di dalam kamar.
Keesokan paginya, Sabtu 24 Maret sekitar jam 07.30 saya menyempatkan kembali berbincang sejenak dengan Pak Tatang yang pagi itu sedang merapikan senapan. Sesekali saya menghalau keluar beberapa ekor ayam yang masuk ke dalam rumah. Dan tentunya pembicaraan kami seputar masa-masa lalu beliau sebagai staf paspampres. Diceritakan oleh Pak Tatang, beliau yang bertugas di samping istana bisa mengetahui apakah di dalam istana sedang ada Presiden Soekarno atau tidak cukup dengan melihat bendera khusus yang dipasang di depan istana. Jika Pak Karno sedang di istana, maka bendera tersebut dipasang dan demikian juga sebaliknya. Sedangkan ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto, tidak ada bendera atau tanda lain yang dipasang baik ketika Pak Harto sedang berada di istana maupun tidak.
Selanjutnya saya juga bertanya apakah ada bantuan dari pemerintah (uang pensiun), Pak Tatang menjawab bahwa beliau menerimanya setiap tanggal 10 setiap bulannya. Mengenai besarnya berapa, beliau tidak menyebutkannya dan saya juga tidak menanyakannya. Pak Tatang juga memiliki kegemaran berburu dan memancing di masa-masa pensiunnya sekarang. Sekitar jam 08.00, akhirnya saya berpamitan dengan Pak Tatang untuk melanjutkan perjalanan saya menikmati keindahan alam Sukabumi bersama Bule dengan mengendari sepeda motor.
Itulah sedikit cerita yang saya dapatkan dari Pak Tatang, seorang pensiunan staf paspampres yang sudah mengabdikan diri selama 30 tahun. Ada sebuah perasaan gembira di hati saya karena bisa berbincang-bincang dengan beliau. Namun di sisi lain, ada juga perasaan sedih dan prihatin melihat kondisi rumah beliau. Seorang yang telah mengabdi begitu lama di lingkungan paling dekat dengan istana negara yang megah, kini menikmati masa tuanya di sebuah rumah yang sangat sederhana yang terletak di Kampung Pasekon, di tepi jalan raya Sukabumi – Cianjur.
Cerita yang sangat menarik. Berawal dari petualangan ke guning Padang berakhir dengan bonus inspirasi kehidupan dengan bertemu saksi sejarah, seorang cakrabirawa/paspampres. What a trip ya kang.
Btw, Prihatin juga yak hidup di masa pensiun seorang abdi negara. Terus ga nyoba menelusuri kembali jejak petualanganmu dulu itu sekalian silaturahmi sama pa Tatang?
Wah pengalaman yg tak terlupakan pasti ya bertemu seseorang yg punya sejarah tapi tetap bersahaja
wah pengalaman luar biasa ini
Bias mendengar langsung kisah bangsa dari pelaku sejarahnya
Semoga Pak Tatang sehat-sehat selalu
Membaca sampai tuntas kisah pak Tatang ini, semoga selalu diberi kesehatan ya pak. Semoga berkesempatan menjajal banyak fasilitas di era presiden berikutnya juga.
Wah moment berharga banget. Salam kompasianers
Kontras sekali ya dengan salah seorang kenalan saya yang juga pensiun paspampres. Beliau sdh alm. tapi hidupnya cukup berkecukupan, mungkin pangkat beliau lebih tinggi dari pak Tatang. Era nya juga sudah berbeda.
Semoga pak Tatang selalu sehat menikmati masa pensiunnya.
mashaa Allah, cerita seperti ini memang selalu menarik buat dibaca dan diketahui lebih dalam. Btw, rejeki mas buat ketemu sama Pak Tatang. Jadi bisa nanya-nanya banyak hal tentang kehidupan beliau saat menjadi paspampres hingga sekarang beliau pensiun. Semoga Pak Tatang sekeluarga sehat dan bahagia selalu.
Senang sekali mendengar kisah pa Tatang. Salam hormat untuk Pa Tatang yang sudah mengabdi menjadi Paspampres.
Semoga pa Tatang juga selalu diberikan kesehatan ya.
traveling selalu memberikan kejutan seperti kisah 7 tahun lalu yang masih sangat dikenang hingga sekarang. Semoga Pak Tatang dan paspampres lainnya lebih diperhatikan kesejahteraannya ya.
wahhh seru sekali ceritanya, emg asik ya rasanya kalo bisa dapat banyak cerita ttg masa lalu apalagi dari narasumber atau pelaku sejarahnya yg masih hidu 🙂
Kaau baca cerita gini ikut terharu, kadang mikir juga kenapa ya banyak orang orang zaman dulu kayak artis pun masa tuanya kehidupannya memprihatinkan, pun pekerjaannya enak ya. Semoga pak Tatang sehat walafiat Aamiin
Hampir rata2 memang mas,, mereka hidup amat sangat sederhana sempat Juga Ada sekitarn Jakarta tetangga Juga mantan cakrabirawa,, rumahnya ya begitulah,, mndengar ceritanya bikin bangga krn mereka masih ingat secara detail
Sekap bersaha ini yang mulai punah dari Indonesia, pengalaman dan wawasan yang di dapat banyak ya mas dari seorang yang rendah hati
Kadang merasa miris, ini baru satu kisah seorang mantan paspampres. Mungkin saja yg lainnya tak jauh berbeda.
yg sering saya dengar adalah kisah para veteran yg hidup memprihatinkan di usia senja nya
Ceritanya bagus sekali, apalagi bisa mendengarkan kisah perjalanan dari seorang mantan paspampres di era Presiden Soeharto. Semoga pak Tatang ini selalu diberikan kesahatan ya mas.
Dari sebuah trip bisa berujung pada pengalaman luar biasa. Kaget sekali membaca profil Pak Tatang yang hidupnya sederhana
Traveler, punya banyak kisah untuk dikisahkan.
Terkhusus Pak Tatang, smoga sehat selalu
Keren ceritanya. Jarang-jarang paspampres diangkat ceritanya ya. Padahal mereka juga pengabdiannya besar sekali.
Tadinya saya berpikir kehidupan seorang paspampres berlebih meskipun sudah mantan. Membaca postingan ini, saya jadi mendapatkan potret lain. Semoga sehat selalu untuk pak Tatang
Wah keren dan seru yah pengalamannya,
Seru banget pengalamannya dan semoga Pak Tatang sehat selalu!