Eni Rosita, A Story That Says I Survived
Pustaka

Eni Rosita: A Story That Says I Survived

[ A+ ] /[ A- ]

Sabtu, 18 Mei. Sekitar jam 9 malam itu kami berjanji untuk bertemu di KeboenDepan, sebuah kafe kopi di perumahan Citra Raya, Tangerang. Saya datang pertama kali, mengambil tempat duduk di bagian tengah kafe yang bernuansa rumah kayu. Sebuah buku sengaja saya bawa, tersimpan di dalam tas selempang. Rencananya, saya akan meminta tanda tangan penulis buku berjudul “Eni Rosita: A Story That Says I Survived”.

Tak lama kemudian datang sang penulis buku, Eni Rosita, bersama dengan anak perempuannya dan suaminya, Abdul Aziz. Eni dan Aziz adalah pelari trail dan ultra marathon yang cukup dikenal di tanah air. Tak lama sesudah itu, datang Listya, juga seorang pelari. Beberapa minuman dan makanan pun dipesan.

Obrolan santai mengalir. Mulai dari Tambora Challenge 2019 yang baru saja dimenangi oleh Eni sebelum bulan puasa kemarin hingga , hingga hal lain yang tidak jauh dari dunia per-lari-an. Dan di sela-sela pembicaraan, saya menyodorkan buku yang saya bawa untuk ditandatangani langsung oleh penulisnya.

***

Buku “Eni Rosita: A Story That Says I Survived” setebal 144 + xvi halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2019 tersebut berkisah tentang pengalaman Eni  Rosita dalam belari.

Bagian satu buku ini mengisahkan apa yang dialami sang penulis saat mengikuti lomba lari MesaStila Peaks Challenge (MPC) bulan Oktober 2016 lalu. MPC merupakan perhelatan lomba lari yang ekstrim, di mana para peserta diharuskan melewati jalur alami serta menggapai lima puncak gunung di Jawa Tengah yaitu Andong (1.726 mdpl), Merbabu (3.145 mdpl), Merapi (2.930 mdpl), Telomoyo (1.894 mdpl), dan Gilipetung (1.400 mdpl).

Baca juga: Juara Tambora Challenge 2019 Berbagi Tips Sehat dan Bugar di Bulan Puasa

Sebuah musibah dialami oleh Eni. Hujan baru reda, dan malam itu Eni berlari seorang diri dari Pos Selo menuju jalur penanjakan. Ia mendengar dari belakang ada suara sepeda motor.

“Ketika sepeda motor itu mendekat, tiba-tiba ada rasa dingin di kakiku. Aku merasa seperti disiram air. Sontak aku menoleh ke belakang untuk mencari tahu. Namun, saat itu juga sepeda motor tersebut sudah berbalik arah… Dalam hitungan detik, rasa dingin yang menjalar di kaki berubah menjadi rasa panas dan perih. Aku panik. Aku berteriak sekeras-kerasnya untuk meminta tolong… “

Eni disiram air keras oleh pengendara motor yang tak dikenal. Ia berlari ke rumah warga untuk meminta pertolongan. Ia kemudian dibawa ke puskesmas terdekat, dan kemudian dipindahkan ke RSU Boyolali untuk mendapatkan pertolongan.

Bagian dua tentang masa-masa di mana Eni dirawat di RS Siloam Karawaci untuk mendapatkan operasi terhadap luka yang dialami. Ia melewati saat-saat menyakitkan untuk pengangkatan jaringan tubuh yang mati dan penutupan luka dengan jaringan yang sehat. Sementara bagian tiga mengisahkan masa-masa di mana Eni setelah keluar dari rumah sakit, namun tetap menjalani terapi untuk penyembuhan. Ia pun mulai berlatih lari di tengah kondisi kakinya yang belum sembuh total. Kemudian, Coast to Coast 25 K bulan Febuari 2017 menjadi lomba pertama yang ia ikuti pascaperawatan, dan ia berhasil finish di urutan ke-3.

Pengalaman mengikuti lomba lari Lintas Sumbawa 320 ditulis di bagian empat. Di lomba yang berlangsung pada April 2017 ini, Eni menjadi juara pertama kategori individu wanita. (Kelak, ia juga memenangi nomor yang sama di tahun 2018 dan 2019). Lomba lari lainnya yang diikuti oleh Eni di dalam dan luar negeri, diceritakannya di bagian lima, enam dan tujuh. Sementara bagian delapan menjadi penutup yang berisi pandangan Eni mengenai perjuangan yang telah dilakukannya.

***

Obrolan kami di KeboenDepan bergulir dari satu bahasan ke bahasan lain. Ada satu impresi yang saya tangkap dari apa yang disampaikan Eni pada Sabtu malam itu.

Mengobrol dengan Eni Rosita

Baca juga: Menapak Tiang Langit: Pendakian 7 Puncak Benua

Saat memulai sebuah lomba lari, Eni Rosita tidak berani membayangkan akan naik podium. Ia hanya berpikir untuk berlari dan menyelesaikan lomba hingga garis akhir. Bahkan di beberapa perlombaan di mana ia sudah berada pada posisi leading, ia selalu membuang jauh-jauh pikiran dan euforia tentang kemenangan. Baginya, segala sesuatu masih bisa saja terjadi sebelum mencapai garis finish.

Waktu dua jam terasa singkat. Sebelum meninggalkan kafe, kami menyempatkan berfoto bersama.

Bagikan

1 thought on “Eni Rosita: A Story That Says I Survived”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *