Pasar Lama Tangerang. Kawasan ini dikenal sebagai surga bagi pecinta kuliner. Beragam makanan bisa ditemukan di setiap sudutnya, dari pagi hingga malam.
Saya kendarai motor dengan pelan sore itu. Di Jalan Kisamaun, saya perhatikan para pedagang kuliner mulai memasang meja, kursi, tenda dan alat-alat lain.
Saya berhenti sejenak, mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang, lalu membuka Google Maps. Saya pastikan lagi di mana tepatnya lokasi yang sedang saya cari.
Saya belokkan sepeda motor dari Kisamaun ke Jalan Bhakti. Tepat di pertigaan Klenteng Boen Tek Bio, saya berbelok lagi ke kanan melewati Museum Benteng Heritage hingga tiba di ujung jalan di sekitar Tugu Jam Pasar Lama.
Nah, itu dia yang saya cari!
Warung Bang Adut, sebuah warung jamu yang sempat viral beberapa waktu lalu. Konon, para pembelinya sampai harus ambil nomor antrean.
Saya tiba pada jam 15.30, atau 30 menit sebelum warung buka. Saya jadi pembeli pertama, dan menunggu pemilik warung berkaos hitam mempersiapkan jualannya. Pria muda berumur 20-an itu tengah menata jahe, kunyit, telur, jeruk, dan bahan-bahan jamu lainnya.
Warung Bang Adut ini berupa sebuah gerobak kayu bercat kuning. Sebuah meja dan beberapa kursi plastik ada di sebelahnya untuk tempat duduk para pembeli.
Saya kemudian memesan seporsi jamu untuk stamina, dengan tambahan telur bebek. Biar stamina nggak jadi stamini!
Tak lama, ada pembeli lain yang datang. Wanita ini memesan dua porsi jamu.
Sementara penjual itu menata dagangan, datanglah seorang pria dan seorang wanita berumur lebih tua. Mereka bertiga mempersiapkan warung yang tak lama lagi akan didatangi para pelanggan.
Pria muda itu kemudian menyalakan kompor dan merebus air. Tugasnya menata barang dagangan dilanjutkan oleh wanita yang mengenakan baju dan jilbab hijau.
Sementara, pria yang satu lagi menyiapkan pesanan jamu. Pria ini memakai kaos abu-abu, apron hitam, dan sarung tangan karet berwarna ungu. Ia mengambil rimpang kunyit, memarutnya, serta melakukan serangkaian proses lainnya untuk menyajikan jamu tradisional.
Tak lama pesanan saya siap. Segelas jamu tradisonal dengan aroma khas. Jamunya masih hangat, berwarna kuning kunyit. Di dalamnya juga ada bahan lain: kunyit putih, buah pinang, gula merah, serta telur bebek.
Menikmati jamu tradisional sambil menyaksikan proses pembuatannya secara langsung di Warung Bang Adut, tentu menjadi hal menarik. Pembeli bisa mengenal beragam bahan mentahnya. Jahe, kunyit, kunyit putih, kencur, serai, dan masih banyak lagi.
Minum jamu bagus untuk kesehatan. Bila nyeri haid, minum kunyit asam. Bila nafsu makan berkurang, minum beras kencur. Atau bila badan pegal-pegal, minum cabe puyang.
Bahkan, bila sedang sehat-sehat saja, minum jamu juga perlu.
Semasa saya masih kecil dan tinggal di Jawa Tengah, keluarga saya juga minum jamu untuk menjaga kesehatan dan kebugaran. Ibu dan kakak perempuan, biasanya minum kunir asam. Bapak, minum bratawali atau sambiloto.
Sedangkan saya seringnya minum beras kencur. Bagian yang saya sukai yaitu pada minuman penutupnya, berupa minuman jahe segar dan manis.
Waktu itu, tahun 80-an, hampir di setiap kampung ada penjual jamu tradisional yang kebanyakan wanita. Mereka mudah dikenal, karena mengenakan pakaian tradisional: kebaya dan kain jarik.
Jamu yang dijual berbentuk minuman dalam wadah botol. Botol-botol jamu ditempatkan dalam sebuah tenggok atau bakul bambu, yang kemudian digendong menggunakan kain selendang. Makanya, disebut juga jamu gendong.
Pemanfaatan bahan-bahan alami untuk kesehatan telah dilakukan sejak dahulu. Nenek moyang kita bahkan dengan baik telah mendokumentasikan pengobatan secara herbal ini. Dokumentasinya berupa visual maupun tekstual, yaitu dalam bentuk relief pada candi dan tulisan pada surat atau kitab.
Pada relief candi Borobudur (dibangun pada abad ke-8 Masehi), kita dapat menemukan pohon Kalpataru. Di dekat sosok pohon lambang kehidupan ini, tampil relief adegan orang-orang sedang mempersiapkan jamu. Mereka sedang meramu, menumbuk, dan memilis.
Relief lainnya di candi terbesar di dunia ini, yaitu relief Kamawibhangga. Digambarkan beberapa orang yang memberikan pertolongan kepada seorang laki-laki yang sedang sakit. Mereka memijat kepalanya, menggosok perut dan dadanya, serta ada juga yang membawa semangkuk obat. Relief lain juga mengambarkan tanaman yang masih digunakan di Indonesia. Ada nagasari, semanggen, cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, kecubung, dan lain-lain.
Pada Serat Centhini (ditulis pada tahun 1814–1823), tertulis cerita yang menggambarkan penggunaan jamu beserta resepnya. Ada jamu yang diminum, dikunyah, ditempelkan pada dahi, dioleskan pada perut atau badan, ditempelkan atau diteteskan pada bagian yang sakit, dan disemburkan kebagian tubuh yang diobati.
Pemanfaatan bahan-bahan alami untuk pengobatan di tanah air terus berlanjut hingga sekarang. Dengan perkembangan teknologi, bahan-bahan herbal diproses menjadi produk berbentuk pil, serbuk, dan lainnya yang lebih praktis dikonsumsi.
Sempat terlintas di pikiran saya, jamu identik dengan orang-orang tua. Namun, anggapan ini ternyata tidaklah tepat.
Di Warung Bang Adut, saya melihat generasi milenial terlibat dalam pelestarian jamu. Ada pria muda berusia 20-an tahun sedang menata bahan-bahan jamu. Ia akan terus belajar, berkembang, serta menjadi bagian penting dalam menjaga warisan jamu yang telah berusia ratusan tahun ini.
Apa yang saya lihat di Pasar Lama Tangerang ini, diperkuat juga oleh sebuah hasil studi dari perusahaan jamu. Ada peningkatan penjualan jamu sebesar 20 persen pada kuartal pertama tahun ini, dengan kontribusi signifikan dari konsumen berusia 18-35 tahun.
Tak hanya itu, perusahaan tersebut juga mengungkapkan hasil survei tentang preferensi visual konsumen. Hasilnya, meskipun visual klasik masih memiliki tempat di hati anak-anak muda, visual modern lebih disukai karena mencerminkan identitas mereka.
Pada akhirnya, setiap kita punya tanggung jawab untuk melestarikan jamu. Teruslah mengonsumsi jamu sebagai minuman kesehatan untuk seluruh keluarga. Juga, perkenalkan jamu melalui media yang ada saat ini.
Jika Raja Samaratungga memvisualkan penggunaan jamu pada relief candi Borobudur dan Keraton Surakarta menuliskannya di Serat Centhini, maka saya pun mendokumentasikan pengalaman minum jamu di Warung Bang Adut ke dalam catatan blog dan unggahan media sosial.
Selamat memperingati Hari Jamu Nasional, tanggal 27 Mei 2024!
***
Referensi:
- https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/riwayat-jamu-sebagai-pengobatan-herbal
- https://m.antaranews.com/berita/4123593/studi-tunjukkan-anak-muda-apresiasi-jamu-sebagai-gaya-hidup-alami