Bulan lalu kasus Covid-19 di Jabodetabek mencapai puncaknya. Berita duka bersliweran di WA group dan media sosial. Ucapan dukacita dan nasihat kepada keluarga yang mengalami kedukaan pun mengalir. Namun, ada kalanya nasihat itu malah jadi toxic positivity.
Beberapa hari lalu seorang teman membagi postingan di media sosial tentang toxic positivity, yang saya pikir sangat baik untuk menjadi bahan renungan bagi kita. Postingan itu tentang seorang istri yang sedang berduka karena baru saja ditinggalkan oleh sang suami.
Ia merasa begitu sebal terhadap sikap orang-orang yang seolah-olah peduli atas apa yang dialaminya. Mereka mungkin bermaksud baik, memberikan nasihat dan penghiburan agar ia tetap kuat dan segera bangkit.
“Kamu orang pilihan, diuji dengan ujian berat. Tapi yakinlah, Tuhan tidak akan menguji melebihi kekuatan manusia!”
Nasihat mereka sepertinya baik, namun tidak tepat waktunya. Menurutnya, saat itu ia hanya ingin menangis untuk menyalurkan emosi. Yang ia butuhkan dari orang lain adalah pelukan dan pundak. Itu saja. Ia tidak butuh digurui dengan petuah-petuah: jangan menangis, kamu harus kuat, kamu harus segera bangkit, dan serangkaian nasihat yang kadang disertai dengan kutipan ayat-ayat dari kitab suci.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah suatu kondisi di mana seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain agar senantiasa memiliki pikiran dan sikap positif untuk menjalani hidup. Fokusnya ada pada hal-hal positif dan menolak hal yang memicu emosi negatif.
Kondisi ini akan membuat seseorang selalu berupaya menghindari emosi negatif. Ia akan berusaha untuk tidak menangis, sedih, marah, kesal, kecewa dan lainnya, saat terjadi sesuatu padanya.
Padahal, emosi negatif juga perlu untuk disalurkan dan diekspresikan. Menyangkal emosi negatif secara terus-menerus dalam jangka panjang itu tidak baik. Hal ini bisa memicu berbagai masalah kesehatan mental, seperti rasa cemas atau sedih berkepanjangan, susah tidur, stress, bahkan depresi.
Berpikir Positif yang Berlebihan Itu Tidak Baik
Kita sering membaca buku-buku motivasi yang mengajarkan untuk bersikap positif. Nasihat-nasihat untuk tetap bersemangat, jangan menyerah, kamu pasti bisa, dan hal-hal positif lainnya juga kerap kali kita dengarkan.
Setiap orang mengalami emosi yang berubah-ubah. Kadang bahagia, kadang sedih. Kadang merasa puas atas pencapaiannya, kadang juga kecewa. Semua perasaan tersebut normal dan manusiawi, dan perlu untuk diekspresikan. Secara psikologi, masing-masing perasaan mempunyai fungsi.
Kita tidak perlu menyangkal emosi negatif dengan berpura-pura bersikap positif. Saat kita sedang terpuruk (down), kita lebih membutuhkan empati daripada kata-kata semangat. Menyemangati orang yang sedang down, bisa jadi malah menyebabkan toxic positivity.
Berpikir dan bersikap positif memang baik. Namun jika berpikir positif secara berlebihan hingga membuat kita menolak emosi negatif, maka ini akan menimbulkan masalah.
Menghindari Toxic Positivity
Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan agar terhindar dari toxic positivity ini. Cara tersebut antara lain:
Kelola Emosi Negatif
Perasaan sedih, kecewa, khawatir, takut, atau marah adalah normal. Saat kita merasakan emosi negatif tersebut, tidak baik jika kita menyangkalnya. Emosi tersebut perlu untuk diluapkan atau diekspresikan. Kita bisa curhat dengan sahabat, orang tua, atau orang lain yang kita percaya. Bisa juga dengan menuliskan emosi tersebut pada buku harian.
Jangan Membandingkan Masalah
Setiap orang memiliki masalah masing-masing dan kapasitas yang berbeda dalam menghadapi masalah tersebut. Suatu masalah yang bagi kita sepele, bisa jadi merupakan problem berat bagi orang lain. Karena itu, kita harus menghindari membanding-bandingkan masalah kita dengan orang lain.
Berempatilah, Jangan Menghakimi
Saat ada teman yang mengekspresikan emosi negatif yang ia rasakan, janganlah mengomentarinya dengan hal-hal yang bersifat menghakimi. Lebih baik kita berempati, mencoba memahami apa yang tengah ia rasakan.
Mencari Bantuan Profesional
Kita bisa mencari bantuan dari profesional untuk mendampingi kita menyelesaikan masalah. Dalam hal ini, kita perlu bantuan psikolog yang memiliki ilmu dan pengalaman. Kita bisa berkonsultasi dengan mereka dan mendapatkan solusi atas masalah yang kita alami.
Yuk, kita hindari toxic positivity yang bisa menimbulkan masalah kesehatan mental ini!