Sosok

Fany Efrita dan Jalan Panjang Menuju Kesetaraan Sosial

[ A+ ] /[ A- ]

Di balik senyum ramah dan curriculum vitae yang mengesankan, tak jarang para penyandang disabilitas harus menelan pil pahit penolakan hanya karena tubuh mereka tak sesuai “standar” dunia kerja.

Mereka yang menggunakan tongkat, kursi roda, atau memiliki jenis disabilitas lainnya, seringkali dipandang sebelah mata. Seolah kemampuan dinilai hanya dari bentuk fisik, bukan dari kompetensi.

Di ruang wawancara, mereka sering mendapat pertanyaan yang tak ditanyakan kepada kandidat lain. Seperti, “Nanti bisa kerja lembur nggak ya?” atau “Kantor kami ada tangga, bisa naik sendiri, kan?”

Pertanyaan itu sepertinya terdengar biasa saja. Namun, di dalamnya menyimpan pesan bahwa dunia kerja belum siap menerima penyandang disabilitas sepenuhnya.

Padahal, banyak penyandang disabilitas yang punya prestasi membanggakan. Salah satunya Fany Efrita, sosok inspiratif penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2024 untuk kategori Pendidikan. Penghargaan ini diberikan atas inisiatif pengembangan keahlian content creator disabilitas.

Terlahir dengan Kondisi Istimewa

Bagi Fany Efrita, setiap langkah adalah kisah tentang keberanian. Perempuan hebat asal Kalimantan Barat ini terlahir dengan kondisi bernama Makro Distrofi Lipomatosa, yang membuat kaki kirinya tumbuh lebih besar.

Makro Distrofi Lipomatosa adalah sebuah gangguan genetik yang membuat jaringan lemak di tubuh tumbuh berlebihan di beberapa bagian tubuh, seperti lengan, kaki, atau torso.

Namun, di balik istilah medis yang rumit, Fany belajar berdamai dengan tubuhnya sendiri sejak dini. Di balik perbedaan fisiknya, ada jiwa yang tangguh yang terus berjuang menjalani hidup dengan penuh makna.

Penolakan di Dunia Kerja

Lulus dari Universitas Tanjungpura, Fany mencoba meniti karier sebagai customer service di sebuah bank di Pontianak. Semua tahapan seleksi berhasil ia lalui, dari tes administrasi hingga wawancara.

Namun, harapannya pupus saat hasil tes kesehatan menjadi alasan dirinya ‘tidak layak’ untuk melanjutkan. Alasannya pun membuat Fany terhenyak. Sebagai customer service, ia diwajibkan mengenakan seragam rok pendek.

Fany menolak mengenakan rok pendek karena ingin menutupi bagian tubuhnya yang membuatnya jadi pusat perhatian. Ia memilih rok panjang, tetapi bank tempat ia bekerja tidak memberikan ruang untuk itu.

“Rasanya kayak kerja itu enggak dinilai dari otak, tapi dari bodi,” kenang Fany getir.

Sumber gambar: Instagram @fanyerlita

Bangkit dan Menjadi Inspirasi

Merasa tak punya ruang untuk berkembang di kota asalnya, Fany mengambil keputusan besar yang mengubah arah hidupnya. Ia hijrah ke Jakarta dan tinggal di sebuah kos sederhana di daerah Grogol.

Jakarta tak hanya menawarkan jalan yang lebih luas, tapi juga tantangan yang tak sedikit. Di sini, Fany belajar bertahan di tengah lalu lintas padat, berpindah dari satu moda transportasi ke yang lain, semua dilakukannya seorang diri. Namun, bukan hanya fisik yang diuji. Hatinya pun kerap tertusuk komentar yang menyamar sebagai simpati. Ada saja orang yang berkata, “Sayang ya, cantik-cantik tapi cacat.”

Di Jakarta pula, Fany menemukan ruang tumbuh. Ia bertemu Angkie Yudistia, pendiri Thisable Enterprise, yang sedang merintis program wirausaha inklusif. Tanpa ragu, Fany bergabung. Dalam program inkubator selama enam bulan, Fany mulai menyalakan mimpinya.

Fany kemudian mendirikan ThisAble Beauty Care. Dari tangan dinginnya lahir produk perawatan tubuh seperti lotion, sabun, lulur, dan beauty oil. Semuanya bersertifikat halal dan BPOM. Fany ingin membuktikan bahwa kecantikan sejati tak hanya soal rupa, tapi juga tentang keberanian untuk mencintai diri sendiri.

Perjalanannya terus berlanjut. Ia menjadi co-founder Alunjiva Indonesia, platform edukasi kesehatan dan peningkatan kapasitas disabilitas di Indonesia.

Alunjiva memiliki tujuan mulia. Mulai dari meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas; memberikan pelatihan dan terapi untuk memperkuat konseptual, jiwa sosial, dan kemampuan praktik disabilitas; hingga bersinergi menciptakan masyarakat yang sehat dan menghilangkan stigma gangguan mental dan disabilitas.

Bersama Alunjiva, Fany menciptakan ruang yang penuh harapan bagi para disabilitas. Kemampuan dan bakat mereka dapat berkembang tanpa batas. Alunjiva membuka peluang baru bagi mereka untuk menapaki jalan kewirausahaan melalui dunia digital.

Di sana, mereka tidak hanya belajar untuk berbisnis, tetapi juga menemukan cara untuk mengekspresikan diri melalui pembuatan konten yang inspiratif. Lebih dari sekadar pelatihan, Alunjiva menanamkan sebuah pesan kuat bahwa disabilitas juga punya potensi yang bisa menjadi kekuatan luar biasa.

Kini, para influencer disabilitas tak sekadar mengemas konten, tetapi juga mengolah karya yang sarat makna. Mereka tidak lagi memandang diri mereka sebagai objek belas kasihan, tetapi sebagai inspirasi bagi banyak orang.

Seiring berjalannya waktu, pandangan masyarakat pun mulai bergeser. Dari sekadar rasa iba yang dulu mendominasi, kini semakin banyak yang mulai menghargai karya-karya luar biasa yang dihasilkan oleh para influencer disabilitas ini.

Penghargaan SATU Indonesia Awards

Atas dedikasinya, Fany meraih penghargaan dari SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards tahun 2024 di bidang pendidikan untuk kegiatan Pengembangan Keahlian Content Creator Disabilitas di Indonesia.

SATU Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi yang diberikan oleh Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan bagi masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.

Dari perjuangan panjang Fany Efrita meraih kesetaraan, kita belajar bahwa keberanian menerima diri sendiri bisa menjadi awal dari perubahan besar bagi banyak orang. Kita memang tidak bisa memilih dilahirkan seperti apa, tetapi kita bisa memilih menjalani hidup dan mengakhirinya menjadi siapa.

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *