Olahraga lari belakangan ini sedang naik daun di masyarakat. Berlari bisa dilakukan siapa saja, tidak hanya oleh olahragawan profesional tetapi juga oleh masyarakat awam. Dengan biaya yang murah, bahkan tanpa biaya, berlari bisa dilakukan di jalan perumahan sampai stadion berskala internasional.
Karena gairah masyarakat yang semakin meningkat, berbagai event lari juga makin marak diadakan di beberapa kota. Setiap akhir pekan di hampir sepanjang tahun, lomba lari digelar di berbagai tempat mulai dari jarak 5 KM, 10 KM, 21 KM, marathon (42 KM), hingga ultramarathon. Tiket untuk beberapa event favorit bahkan sering habis hanya dalam hitungan hari setelah pendaftaran dimulai.
Ada berbagai alasan masyarakat mengikuti lomba lari. Bagi pelari profesional, meraih podium atau menjadi juara adalah tujuan utama. Sementara bagi pelari non profesional, alasannya bisa beragam. Mulai dari memperbaiki catatan waktu pribadi, hingga sekedar berekreasi atau berwisata.
Jika selama ini kita mengenal jenis wisata alam, sejarah, budaya dan kuliner, maka ada satu lagi jenis wisata yang muncul belakangan ini yaitu wisata olahraga (sport tourism). Wisata olahraga berlatar belakang sebuah event olahraga yang dihelat, seperti lomba lari. Perhatian dan keseriusan panitia lomba dan pemerintah setempat menjadi kunci keberhasilannya.
Mandiri Jogja Marathon adalah salah satu lomba lari yang mengusung tema sport tourism. Daya tariknya tentu saja pesona Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia. Mandiri Jogja Marathon atau lebih dikenal oleh pecinta lari dengan istilah Jogmar digelar pertama kali pada tahun 2017.
Tahun 2018 lalu Mandiri Jogja Marathon diadakan tanggal 15 April 2018 dan diikuti oleh 8 ribu pelari dari dalam dan luar negeri. 80 persen dari jumlah peserta tersebut berasal dari luar Yogyakarta, sebagian besar dari Jabodetabek. Sudah bisa dibayangkan, berapa banyak pemasukan yang didapatkan oleh bisnis hotel, kuliner dan tempat wisata dengan adanya gelaran Jogmar ini.

Mandiri Jogja Marathon mengambil rute di sekitar candi Prambanan, melintasi candi-candi, desa, dan persawahan yang berada di Sleman dan Klaten. Beberapa atraksi budaya seperti gamelan jawa, jathilan, atau pukul lesung juga diadakan di sejumlah titik untuk menghibur para pelari. Inilah yang membuat saya tertarik untuk menjadi peserta, ikut berlari dan berwisata.
Baca juga: Everybody Can Run A Full Marathon
Hari-H lomba, saya tiba di lokasi lomba jam 3 pagi. Masih ada waktu cukup banyak sebelum kategori Full Marathon dimulai jam 04.45. Saya melakukan peregangan dan pemanasan sebelum lomba. Namun karena tidak berhati-hati, engkel kaki kanan saya tertekuk dan saya jatuh karena kehilangan keseimbangan.
Saya mencoba berdiri, dan merasakan sedikit panas pada bagian engkel tersebut. Saya kemudian berjalan mondar-mandir sebentar, dan ternyata masih bisa berjalan dengan lancar. Saya putuskan tetap mengikuti lomba
Start Full Marathon dilakukan pukul 04.45. Saya mengambil posisi start di belakang mengingat kecelakaankecil yang terjadi saaat pemanasan sebelumnya, juga karena kecepatan lari saya yang tidak terlalu bagus. Kesadaran untuk melakukan hal ini memang sebaiknya diambil oleh setiap pelari non profesional, untuk memberikan kesempatan pelari lain yang lebih cepat memulai lomba berada di depannya. Dengan jumlah ribuan pelari, cara ini bisa menghindarkan terjadinya tabrakan antar pelari.
Dari Prambanan, peserta lari kemudian keluar menuju jalan-jalan perkampungan yang lebarnya hanya sekitar 5 meter. Sempitnya jalur ini membuat jalur cukup padat dan hanya bisa menampung 3-4 pelari dalam posisi sejajar atau berdampingan. Perlu kewaspadaan terhadap kondisi rute yang tidak rata, ditambah beberapa tempat yang penerangannya kurang.
Delapan kilometer pertama terhitung cukup mudah untuk saya tempuh. Namun mulai KM 8 hingga KM 18, jalur mulai menanjak. Berlari dan berjalan kaki menjadi cara yang saya pilih untuk menghemat tenaga sepanjang 10 kilometer tersebut. Kondisi yang masih pagi dengan suhu yang belum panas sangat membantu kenyamanan berlari.
Sambutan warga yang memberikan suntikan semangat kepada pelari perlu diapresiasi. Di KM 10 di Dukuh Sempu, Sleman penduduk setempat memberikan sambutan dengan pertunjukan budaya berupa atraksi gamelan Jawa. Sebuah pertunjukan yang menarik dan bisa memberikan semangat bagi pelari lambat seperti saya yang berjuang melawan jalur mendaki.
Selain melewati perkampungan, jalur lomba juga melintasi persawahan. Suasana khas yang menawarkan keindahan kebanyakan pedesaan di Indonesia, menjadi hiburan bagi peserta lomba. Kami terus berlari ke arah utara dan di depan sana terlihat Merapi yang begitu tenang dan perkasa.

Jalur mendaki sepanjang 10 kilometer cukup melelahkan. Otot-otot paha dipaksa bekerja lebih berat untuk melewatinya. Beruntung saya tidak mengalami masalah serius pada kaki, meskipun rasa pegal harus saya alami lebih awal dibandingkan saat mengikuti marathon lain yang mengambil jalur jalan raya perkotaan yang relatif datar. Beberapa peserta Jogja Marathon terlihat mengalami kram pada otot kaki. Peserta lain atau tim medis secara sigap memberikan pertolongan.
Selepas KM 18, jalur berbelok ke arah timur dan selatan. Jika sebelumnya melewati jalanan mendaki, kini berubah menurun. Jalur menurun memang lebih ringan ditempuh, namun otot lutut dan pergelangan kaki perlu bekerja lebih untuk menahan berat badan. Dengan kondisi jalur sebelumnya yang sudah menguras stamina, saya tetap memilih cara berlari dan berjalan untuk melanjutkan lomba.
Separuh lomba mampu saya lewati, namun catatan waktu cukup mengkhawatirkan. Jarak 21 kilometer yang biasanya bisa saya tempuh dalam 2 jam 40 menit hingga 2 jam 50 menit, kali ini harus memakan waktu hampir 3,5 jam. Peluang untuk bisa menyelesaikan lomba dalam waktu 7 jam masih terbuka bagi saya.

Kelelahan otot pada bagian paha dan pergelangan kaki membuat saya beberapa kali berhenti untuk melakukan peregangan. Sempat saya minta bantuan tim medis memberikan es batu untuk mengompres kedua paha saya, sehingga saya bisa melanjutkan lari. Sebuah pos medis di KM 26 menjadi perhentian saya berikutnya.
Petugas medis membantu saya meregangkan otot kaki. Namun ketika telapak kaki saya ditekuk ke arah dalam, saya merasa sakit sekali. Atas masukan dari tim medis, saya memutuskan berhenti lomba di KM 26 dalam waktu 4 jam 20-an menit. Saya mengalami masalah pada ligamen, dan dikhawatirkan bisa terjadi kondisi yang lebih parah bila terus memaksakan diri sampai garis finish.
Keputusan ini membuat saya tidak bisa menyaksikan keindahan jalur lomba berikutnya dengan pemandangan beberapa candi. Keindahan tersebut memang baru bisa dilihat setelah KM 30 ke atas. Ya sudahlah, saya belum beruntung. Semoga masih ada kesempatan bagi saya untuk mengulang Jogja Marathon lagi.