Bali Marathon 2017
Sehat

Everybody Can Run A Full Marathon

[ A+ ] /[ A- ]

Marathon, salah satu nomor lari jarak jauh, tentunya tidak mudah ditaklukkan oleh sembarang orang. Berlari sejauh 42 kilometer (kategori full marathon) bukanlah hal yang gampang dilakukan apalagi oleh orang awam yang tidak memiliki bakat sebagai pelari. Namun bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Saya yang tidak memiliki latar belakang atau bakat berlari telah berhasil membuktikannya, meskipun memerlukan waktu tempuh yang lumayan lama. Dan saya pun yakin semua orang bisa melakukannya.

Berawal pada tahun 2009 ketika saya mengidap penyakit paru-paru, padahal saya bukan perokok. Bisa jadi karena saya perokok pasif, atau karena polusi udara. Saya sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari dan dilanjutkan dengan rawat jalan selama satu tahun. Setiap hari saya harus menelan beberapa butir pil hingga akhirnya saya dinyatakan benar-benar sembuh. Pada saat menderita penyakit inilah saya sempat menanantang diri sendiri, apakah saya berani melakukan hal yang hampir mustahil bisa dilakukan oleh penderita paru-paru misalnya lari marathon.

Saya tidak langsung memulai olahraga lari setelah sembuh saat itu. Bulutangkis dan futsal menjadi olahraga yang sempat saya lakukan bersama teman atau tetangga untuk mengisi waktu luang. Namun akhirnya kedua olahraga tersebut mulai jarang saya lakukan karena seringnya terjadi ketidakcocokan waktu luang antara saya dengan teman yang lain. Bulan April 2015 akhirnya saya mulai beralih ke lari. Saya masih ingat awal-awal berlari mengelilingi lingkungan perumahan dengan mengenakan sepatu futsal, sebelum beberapa bulan kemudian saya beli sepatu lari.

Salah satu kemudahan berlari adalah bisa dilakukan seorang diri, di mana pun dan kapan pun. Namun di sisi lainnya, berlari seorang diri bisa menjadi sesuatu yang membosankan. Untuk membunuh rasa bosan tersebut, saya biasanya berlari sambil melakukan hobi saya yaitu memotret. Beberapa spot atau titik menarik di lingkungan tempat tinggal menjadi objek foto yang kemudian saya jepret dengan smartphone, atau bisa juga saya berswafoto dengan latar belakang tempat-tempat tersebut. Dan biar terkesan kekinian, tak lupa foto-foto saya unggah ke media sosial. Pada masa-masa awal berlatih lari ini, kilometer-kilometer pertama terasa begitu berat dan cukup membuat nafas saya tersengal-sengal. Namun saya terus mencoba berlatih dan menambah jarak tempuh, dari mulai 3 kilometer, lalu ditingkatkan menjadi 5 kilometer hingga 10 kilometer dalam beberapa bulan latihan.

Setelah beberapa bulan berlatih, saya mulai mencoba mengikuti lomba lari. Tujuan saya untuk merasakan bagaimana atmosfer berlari bersama-sama ribuan peserta lainnya, dan sudah pasti naik podium adalah sesuatu yang mustahil saya raih. Superball Run 2015 adalah lomba yang pertama kali saya ikuti, dan saya memilih kategori jarak 8 mil (sekitar 12 kilometer).

Tahun 2016 saya juga mengikuti beberapa lomba, dan full marathon pertama yang saya putuskan untuk saya ikuti adalah di Borobudur Marathon 2016. Satu bulan menjelang lomba saya berlatih lebih intensif untuk mempersiapkan diri menghadapi marathon pertama ini. Namun karena keterbatasan waktu berlatih mengingat saya juga bekerja, saya hanya bisa berlatih sejauh 21 kilometer saja. Satu minggu sekitar 2 kali latihan. Di hari H lomba, rupanya saya terlalu bernafsu berlari. Saya memulai lomba dengan kecepatan yang hampir sama saat latihan 21 kilometer. Akibatnya pada kilometer ke-25 dan selanjutnya saya mulai kehabisan tenaga. Separuh terakhir lomba lebih banyak saya tempuh dengan berjalan kaki, hingga akhirnya saya menyentuh garis finish 40 menit lebih lambat dari batas waktu yang ditetapkan (7 jam).

Bertolak dari hasil marathon pertama tersebut, saya mulai belajar bagaimana untuk bisa menyelesaikan lomba sebelum 7 jam. Melalui group-group Facebook yang berisikan peminat lari, saya banyak mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat. Dan saya pun membuat kalkulasi sendiri yang akan saya pakai untuk bisa menyelesaikan marathon dalam 7 jam, yaitu:

  • Waktu 7 jam jika dibagi rata terhadap jarak 42 kilometer, maka setiap jamnya cukup menempuh jarak 6 kilometer saja. Pace atau lelaju yang digunakan adalah 10 menit/kilometer. Namun berlari dengan pace 10 cukup berisiko, karena sepanjang lomba kita akan berhenti untuk minum, beristirahat, atau berfoto-foto.
  • Untuk menghemat tenaga karena jarak marathon yang cukup jauh, maka pace 6 atau 7  yang biasanya saya pakai saat berlatih adalah terlalu cepat, dan akan berisiko terhadap habisnya stamina di pertengahan lomba.
  • Jika kita berjalan kaki dengan kecepatan biasa, maka pace yang digunakan adalah 15 menit/kilometer, atau dalam 1 jam hanya menempuh 4 kilometer. Tentunya kita tidak bisa menyelesaikan lomba dalam waktu 7 jam.

Dari ketiga poin di atas, saya akhirnya memiliki resep tersendiri untuk mengikuti marathon ke-2 yang diadakan di Bali pada bulan Agustus 2017. Saya memulai start Bali Marathon 2017 dengan pace 8 dan mencoba tidak terpancing dengan kecepatan pelari lainnya. Jika saya bisa bertahan pada pace 8 ini, maka saya akan menyelesaikan lomba dalam waktu hampir 6 jam. Saya cukup menikmati lomba yang dimulai jam 5 pagi tersebut. Bahkan saya sempat beberapa kali berhenti untuk mengambil foto. Namun masalah pada kaki kiri saya kembali terjadi. Saya mulai merasakan nyeri di KM 15 setelah 2 jam berlari, masih cukup jauh dari total 42 kilometer.

Dengan waktu tersisa masih 5 jam dan jarak masih 27 kilometer, saya mengubah strategi berlari. Saya melakukan kombinasi berlari dan berjalan kaki di kilometer selanjutnya sambil tetap memerhatikan jarak dan waktu yang tersisa. Strategi berlari dan berjalan ini saya terapkan sejauh 20 kilometer (hingga KM 35). Dengan waktu tempuh 5 jam untuk jarak sejauh 35 kilometer ini, saya melihat bahwa 2 jam yang tersisa bisa saya pakai menyelesaikan lomba sejauh 7 kilometer dengan berjalan kaki saja. Dan akhirnya saya berhasil menyelesaikan marathon dalam waktu 6 jam 48 menit, cukup bagus jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya.

Strategi yang sama saya lakukan pada dua marathon berikutnya, yaitu Jakarta Marathon 2017 di ibukota dan Jawa Pos Fit Marathon 2017 di Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Strategi tersebut membawa saya menyelesaikan 42 kilometer dengan catatan waktu yang tidak jauh berbeda, sekitar 6 jam 50 menit.

Ada hal yang perlu diperhatikan, bahwa marathon memerlukan persiapan yang memadai. Berlatih secara teratur dan disiplin menjadi kuncinya. Selain itu kita juga perlu menjaga kondisi tubuh agar terhindar dari cedera atau sakit. Tahun 2018 ini saya mengikuti 3 marathon, yakni Jogja Marathon 2018 (April), Bromo Marathon 2018 (September), dan Jakarta Marathon 2018 (Oktober). Jika pada tahun 2017 saya bisa menyelesaikan 42 kilometer dengan baik, tahun 2018 menjadi tahun yang buruk bagi saya.

Dua jam sebelum start Jogja Marathon bulan April 2018, seperti biasa saya melakukan pemanasan dan peregangan di area Candi Prambanan, tempat berlangsungnya lomba. Akibat kurang berhati-hati, engkel kaki kanan tertekuk dan membuat saya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Saya kembali berdiri dan merasakan sedikit panas pada daerah engkel kaki. Kemudian saya coba berjalan beberapa langkah. Tidak masalah, dan saya bisa berjalan normal. Saya putuskan tetap mengikuti lomba.

Saat lomba dimulai, saya sengaja berlari lebih lambat dari beberapa lomba sebelumnya untuk menjaga kondisi kaki saya. Sesekali saya berjalan kaki di jalur tanjakan yang dilewati. Cara ini berhasil membuat saya bisa menempuh separuh lomba yang rutenya menanjak halus.

Mulai KM 21, rasa nyeri mulai timbul di kaki kanan. Beberapa kali saya oleskan krim atau minta kompres es kepada panitia. Di pos kesehatan pada KM 26 saya kembali berhenti karena masalah pada kaki kanan. Dengan berat hati saya akhirnya memutuskan tidak melanjutkan lomba untuk menghindari keadaan yang lebih buruk.

Jika Jogja Marathon tidak bisa saya selesaikan karena cedera, maka lain lagi dengan Bromo Marathon bulan Oktober lalu. Sehari sebelum lomba, saya mengalami gangguan pencernaan. Sepanjang Sabtu itu saya beberapa kali buang air besar dan nafsu makan sedikit terganggu. Ini membuat saya ragu apakah akan tetap berlari atau tidak di hari Minggu.

Minggu pagi saya putuskan tetap ikut lomba. Seperti biasa, saya memulai lomba dengan kecepatan lambat dan berada di kelompok belakang. Saya menikmati rute lomba yang melewati perkampungan di Tosari, dan kemudian memasuki ladang atau kebun di lereng Bromo. Gangguan perut saya alami dan memaksa saya menumpang buang air besar di rumah penduduk di KM 5.

Selepas itu, rute sedikit menanjak pada lereng-lereng pegunungan. Saya sudah berada di posisi paling belakang dan diikuti oleh marshal lomba yang mengendarai sepeda motor trail. Saya lebih banyak berjalan kaki karena badan lemas akibat diare. Karena kondisi yang tidak memungkinkan lagi, saya akhirnya memutuskan berhenti di KM 10 dan marshal mengantar saya kembali ke race venue.

Kegagalan mencapai garis finish pada 2 full marathon sebelumnya membuat saya bertekad untuk memperbaikinya di Jakarta Marathon. Berbeda dengan race tahun sebelumnya, race tahun 2018 ini memiliki rute dan race organizer yang berbeda. Start dan finish tahun ini berada di kompleks Gelora Bung Karno, sementara tahun lalu berada di Monas.

Saya memulai lomba dengan kecepatan santai untuk menjaga stamina dan strategi ini berjalan lancar di awal lomba. Akibat latihan sebelumnya yang kurang teratur, stamina saya ikut terpengaruh. Mulai KM 10 saya sudah tidak sanggup berlari penuh, dan menyelinginya dengan berjalan kaki. Cara ini terus saya pertahankan hingga KM 35. Kilometer-kilometer selanjutnya, otot-otot kaki sudah tidak bisa dipaksakan untuk berlari. Saya pun finish dengan catatan waktu 8 jam, atau lebih 1 jam dari batas waktu yang ditetapkan.

Demikianlah sharing dari saya yang pernah mengidap penyakit paru-paru, lalu mulai berlatih lari dari nol. Tantangan yang pernah saya ucapkan sebelumnya “apakah saya berani melakukan hal yang hampir mustahil bisa dilakukan oleh penderita paru-paru misalnya lari marathon” akhirnya bisa saya lakukan.

Saya pun yakin semua orang bisa melakukannya. Kuncinya adalah pada latihan yang baik dan strategi yang tepat saat berlomba. Karena setiap orang memiliki kondisi fisik yang berbeda, maka strategi saat lomba juga berbeda. Everybody can run a full marathon.

Bagikan

2 thoughts on “Everybody Can Run A Full Marathon”

  1. Masyaallah hebat mas perjuangannya benar-benar menginspirasi, apalagi prestasi lari tersebut diraih setelah sembuh dari penyakit paru-paru. Subhanallah 😊

    1. salah satu cara bersyukur yg bisa kita lakukan yaitu dengan menjaga kesehatan. tidak ada kata terlambat untuk memulai hidupsehat.

      terima kasih sudah mampir, Mbak Mutia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *