Film Bungkeuleukan, film pendek dengan latar budaya Sunda
Seni & Hiburan

Film Bungkeuleukan Berlatar Budaya Sunda

Film Bungkeuleukan, sebuah film pendek bergenre drama supranatural. Film ini diproduksi oleh Bale Films dan mengambil setting kehidupan masyarakat Jawa Barat. Film berdurasi 38 menit ini menggunakan dialog Bahasa Sunda.

Pandemi Covid-19 telah memberi pukulan berat pada banyak bidang, termasuk industri perfilman. Imbauan untuk tetap berada di rumah seperti melalui work from home atau school from home membuat masyarakat tidak lagi menonton film di gedung bioskop.

Para penggemar film kemudian mengalihkan perhatiannya ke televisi maupun platform digital. Pelaku industri perfilman menangkap fenomena ini sebagai peluang baru, sehingga kemudian mempertunjukkan karyanya melalui kanal Youtube dan platform digital lainnya.

Fenomena menarik yang masih lekat di ingatan kita yaitu meledaknya film Tilik yang tayang di kanal Ravacana Films di Youtube pada 17 Agustus 2020. Hingga sekarang, film pendek yang disutradarai Wahyu Agung Prasetyo ini telah meraih 24 juta view penonton.

Jumah tersebut jauh melampaui capaian film Indonesia sebelumnya. Hingga saat ini, tercatat Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 meraih rekor penonton tertinggi, yakni 6,8 juta. Disusul kemudian oleh Dilan 1990 (6,3 juta) dan Dilan 1991 (5,2 juta).

Baca juga : Review Film Milea: Suara dari Dilan

Fenomena film Tilik yang berdurasi 32 menit tersebut juga mengangkat pamor film pendek Indonesia. Sebelumnya, film pendek hampir tidak dilirik oleh publik. Biasanya film pendek produksi dalam negeri diputar terbatas di festival film dan pemutaran khusus. Termasuk Tilik, film produksi tahun 2018 ini tayang di beberapa festival terlebih dahulu sebelum ditayangkan di Youtube.

Bungkeuleukan, Film Pendek Berlatar Budaya Sunda

Sabtu (21/10) lalu saya berkesempatan hadir pada acara nonton bareng film Bungkeuleukan bersama komunitas Komik (Kompasianers Only Movie Enthus(I)ast Klub)dan  Bale Films. Acara tersebut berlangsung secara virtual, berbeda dengan nonton bareng yang pernah saya ikuti sebelumnya bersama komunitas tersebut.

Meski diadakan secara virtual, kemeriahan acara tetap terjaga. Kami bisa leluasa mengekspresikan diri melalui dandanan a la Halloween sesuai dengan tema acara, Spooktober atau Spooky October. Selain itu, peserta nobar bisa bertanya langsung mengenai film Bungkeuleukan kepada Agung Jarkasih, sang  sutradara, penulis, dan produser film.

Bungkeuleukan yang bergenre drama spiritual ini berkisah tentang Jantra (diperankan Ridho Falah) yang hidup miskin di sebuah desa di Bogor, Jawa Barat. Dalam keadaan yang tidak beruntung tersebut, ia diremehkan oleh orang di sekitarnya. Jantra kemudian berjanji kepada anaknya, Amar (Rafli Despian) untuk membeli rumah baru di perumahan dekat desanya. Jantra hidup menduda, setelah bercerai dengan istrinya, Lastri (Agis Kristiyanti).

Jantra punya kebiasaan buruk, yakni bermain judi togel. Demi mendapatkan uang untuk membeli rumah baru, ia melakukan ngimpo, ritual di pohon keramat untuk mendapatkan nomor togel. Esoknya, ia pun memasang nomor dan yakin bisa menang togel.

Sialnya, nomor yang dipasang meleset. Jantra marah dan bermaksud menebang pohon keramat. Namun Jantra malah mengalami musibah, ketika Amar hilang dari rumah. Jantra bersama penduduk desa kemudian berkeliling desa mencari Amar. Hingga kemudian di sebuah tempat dengan rumpun bambu, terjadi hal yang mengerikan. Sesosok bayangan muncul di antara batang-batang bambu dan menimbulkan kekacauan.

Kritik Sosial

Layaknya film pendek lainnya, Bungkeuleukan memiliki alur sederhana dengan jalan cerita yang gampang dicerna. Namun demikian, film berdurasi 38 menit ini tetap menyuguhkan tontonan menarik. Visualisasi suasana pedesaan cukup berhasil, dengan menampilkan ladang, rumah-rumah sederhana, dan pepohonan hijau dan rindang.

Budaya Sunda sebagai latar film ditampilkan melalui dialog para pemainnya yang menggunakan bahasa Sunda sepanjang film. Juga skoring dengan musik tradisional dan lagu berbahasa Sunda.

Untuk mendukung ambiens horor, ditampilkan scene jembatan berkabut hingga rumpun bambu yang remang. Juga ada klintingan atau gantungan bambu yang digantung di depan rumah, yang akan mengeluarkan bunyi khas apabila tertiup angin sebagai metafora kehadiran makhluk tak kasat mata. Untuk memberikan jump scare, sesosok pocong ikut hadir dengan wajah terekspos yang lumayan mengerikan.

Dari segi akting, para pemain cukup baik melakukan perannya. Dialog dan ekspresi cukup natural, tidak lebay.

Baca juga : Film Ziarah dan Memaafkan Masa Lalu

Ada pesan atau kritik sosial dari film Bungkeuleukan yang relevan dengan kondisi kekinian di masyarakat. Misalnya berkurangnya daerah hijau di pedesaaan yang berganti dengan perumahan yang dibangun developer. Sayangnya, warga setempat hampir mustahil bisa memiliki perumahan modern tersebut, karena alasan ekonomi.

Di sisi lain, warga lokal juga tak luput dari kritik. Kebiasaan bemain togel dan ngimpo mencerminkan sikap malas dan mencari jalan pintas untuk hidup sejahtera. Menurut Agung Jarkasih, sutradara muda kelahiran tahun 1995, ia masih menjumpai agen togel di salah satu pasar di Bogor beberapa waktu lalu.

Bungkeuleukan Masih Tayang Terbatas

Jika di bagian awal disebutkan kesuksesan film Tilik dengan capaian jutaan view, maka Bengkeuleukan belum menunjukkan tanda-tanda ke arah tersebut. Bungkeuleukan masih tayang terbatas. Film yang sempat kami saksikan di Youtube tersebut, kini tak lagi bisa diakses.

Apakah Agung Jarkasih dan Bale Films sengaja menyimpan film ini untuk kemudian ditampilkan di event khusus seperti festival? Apakah film ini juga menunggu waktu yang tepat untuk bisa diakses bebas oleh publik? Kita tunggu saja pekembangan selanjutnya.

Share this:

25 thoughts on “Film Bungkeuleukan Berlatar Budaya Sunda”

  1. Semenjak film Tilik booming di kanal YouTube, banyak bermunculan film sejenis yang mencoba menarik perhatian viewers. Para sineas sebaiknya memanfaatkan kesempatan #dirumahaja dengan menyuguhkan film pendek atau film regular yang berkualitas di kanal paling populer, yakni YouTube, maupun kanal lainnya. Tentunya film tersebut harus memberikan sisi edukasi kepada masyarakat.

    Kayak film Bengkeuleukan ini, menghadirkan fenomena serta kebiasaan kurang baik masyarakat setempat yang mungkin saja kita gak akan pernah tau. Selain dikemas dengan menarik, film ini juga punya sisi edukasi yang cukup baik.

    Great post

  2. Menurutku film film yang sesuai dengan keadaan skrng lebih enak di tonton, kan memang benar sekarang lahan hijau mulai berkurang akibat pembangunan, semoga film nya bisa diakses lagi deh,

  3. kemarin saat mudik ke kampung betapa kagetnya melihat lahan persawahan yang sepetak demi sepedak berubah menjadi rumah. sesek mas. kaya ada yang di kangenin tp sosoknya udah berbeda
    mungkin ini waktu yang pas untuk film2 macam ini ya. yang ringan dan nggak penuh drama berkepanjangan tp finishingnya terlalu dipaksakan

  4. Aku jadi suka nonton film pendek setelah Tilik. Dari situ baru menydari bahwa film pendek karya anak bangas itu nggak kalah bagusnya ya.
    Bisa pilih berbagai genre juga. Nah salah satunya Bungkeuleukan ini.

  5. sineas Indonesia terus berkarya walaupun pandemi, banyak film pendek yang menuai sukses dan sepertinya latar belakang budaya jadi tema yang disukai saat ini

  6. di YouTube mulai bermunculan film seperti Tilik ya sekarang. Seperti halnya film pendek bungkeuleukan ini. Lumayan buat hiburan di tengah pandemi.

  7. Wah, sepertinya menarik filmnya ya, Mas Daniel. Sayang mau cari ke youtube sudah tidak tayang lagi. Padahal banyak pesan moral ya, Mas. Misalnya memang sekarang pembangunan perumahan mewah sudah masuk ke desa, tapi warga desa tidak bisa memiliki. Dan memang di sini juga sudah banyak pembangunan perumahan seperti itu. Lainnya togel dan ngimpo.

    Ini ada teks bahasa Indonesia ya, Mas? Soalnya kan dialognya bahasa sunda.

  8. Film pendek kurang penonton mungkin karena kurang promosi juga. Berkat Tilik saya jadi penasaran dengan film-film pendek yang lain. Se YouTube saya aduk-aduk. (Halah…) Tapi tetep aja masih sangat banyak yang belum sempat saya tonton. Termasuk film yang ini.

  9. “Nggak tayang lagi” ini malah bikin penasaran 😀 Tapi jujurly sih, aku nggak cukup berani buat nonton film horor.

  10. Wah penasaran euy liat Bungkeuleukan. Tapi takut ga yaaa? Saya mah yang horor-horor gitu, mikir-mikir mau nonton…Hehe…
    Sepertinya tunggu tanggal ya tepat ya untuk booming…

  11. Bungkeulwukan. Wah apa ya makna kata ini dalam bahasa Sunda.

    Aih soal vudaya Togel, saya setuju. Sebagai warga Bogor, kadang masih nemu aja saya juga. Pernah kena tanya random pas naik angkot dan asli bikin nggak nyaman.

    Semoga film ini bisa hits seperti Tilik, kalau sudah bisa ditonton lagi di Youtube.

  12. Terakhir nonton film dokumenter kapan ya? Udah lama sih. Tapi kalo film bertema budaya gitu ya nonton bumi manusia, sebelum pandemi 😂

  13. Jadi penasaran, Mas Daniel, sama film pendek ini. Bungkeuleukan memang efektif dan relevan sama kondisi kekinian ya. Aku ingat ada tetangga ibu di kampung yang sawahnya ditawar oleh saudagar tanah kaya dengan harga tinggi tapi tak juga dilepas. Ga kebayang kalau sawha produktif dialihkan jd areal permukiman lagi dan lagi. Ya gimana lagi kebutuhan konon mendesak, dan maaf, otoritas setempat ya tampaknya oke-oke aja. Malah ada mereka yang mengelola usaha perumahan, jadi ambigu dan konflik kepentingan. Semoga kritik film pendek ini benar-benar sampai ke publik, dan jadi wahan untuk berkreasi selama pandemi. Hidup film Indonesia!

  14. Wah aku baru tahu nih ada film bungkeuleukan, kasih tau ortu ah pasti suka nih apalagi bahasanya pakai bahasa Sunda. Ada pesan-pesan khusus yang disampaikan dalam cerita buat masyarakat ternyata ya. Sayang banget kalau gak bisa lagi diakses ya apadahal aku belum nonton

  15. Aku juga baru bener bener ngeh sama film pendek indonesia, karena nonton tilik juga siih.. TErnyata banyak ya film pendek Indonesia yang keren keren dan dalem banget pesan moralnya. Penasaran deh sama Bungkeuleukan ini, semoga nanti ditayangkan di Youtube juga yaaaaa

  16. Aku juga suka nonton film pendek mula2nya gegara Film Tilik itu mas, trus ketagihan muter judul film pendek lainnya. Durasi lebih singkat tapi penonton bisa langsung dapatin benang merah setelah menontonnya. Aku jadi penasaran gimana kisahnya Jatra dan Amar selanjutnya

  17. Indonesia memang gudangnya orang kreatif. Semakin banyak film yang mengangkat budaya daerah menjadi cukup menarik, mengingat Indonesia punya budaya yang luar biasa banyak.
    Bayangkan kalau tiap daerah bisa membuat film dan bisa ditayangkan di bioskop, wah pasti budaya kita bisa terjaga dengan baik. salut untuk Bale yang mau memproduksi film ini.

  18. Banyak anak muda kreatif membuat film baik panjang mauupun pendek , dan ini lah contoh hasil karya terbaik anak bangsa Indonesia yaitu film bungkeuleukan

  19. judulnya aja udah sunda pisan ya, bungkeuleukan, menjelma, serem banget ga bang sam? entah kenapa kalau nonton film horor indonesia suka serem hehe

  20. Saya malah sampai sekarang belum sempat menyaksikan film TILIK hingga selesai. Hahaha. Tahu intinya saja. Semoga besok-besok film Bungkeuleukan bisa ngehits juga seperti TILIK dan yang lainnya ya.

  21. Walah, aku baru dengar nih tentang film Bungkeuleukan dan pas nyoba cari di YouTube memang udah gak bisa diakses ternyata ya. Telat tahunya dan habis baca ulasannya ini malah makin penasaran. Semoga nanti tayang lagi ya, sepertinya bagus.

  22. Bungkeuleukan kira-kira apa artinya ya? Aku orang Sunda tapi kok kayak baru denger.
    Film pendek yg bagus punya daya tarik tersendiri. Dlm durasi film yg singkat namun cerita maupun pesan bisa tersampaikan dengan baik ke penonton.
    Semoga makin maju perfilman Indonesia, termasuk film pendek juga…

  23. waduh sayang banget sudah ga bisa diakses di Youtube
    padahal penasaran juga dengan bungkeuleukan
    film2 lokalitas, pendek, kini sedang bagusbagusnya keknya

  24. Film yg bercerita kejadian2 di sekitar lokalan suatu tempat ya, sekilas mengingatkan sy pd cerita2 waktu jaman SD, durasinya pas utk hiburan ya film pendek ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *