Antonio Gramsci, seorang filsuf dan pemikir politik asal Italia, pernah memperkenalkan konsep “intelektual organik”. Konsep ini sebagai bagian dari analisisnya terhadap peran intelektual dalam masyarakat.
Menurut Gramsci, intelektual organik adalah individu yang muncul dari dalam kelas sosial, merasakan deritanya, lalu berjuang membela mereka. Berbeda dengan intelektual tradisional yang biasanya terpisah dari dinamika sosial dan politik, intelektual organik secara aktif terlibat dalam proses perubahan sosial.
Gambaran intelektual organik ini bisa dilihat pada Justitia Avila Veda. Sosok inspiratif ini adalah founder Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), sebuah kolektif advokasi yang menyediakan bantuan hukum gratis untuk korban kekerasan berbasis gender.
“Setiap perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, entah mereka sadari atau tidak, “kata Justitia.
Justiitia prihatin terhadap fenomena kekerasan seksual di Indonesia dan bertekad untuk membantu korban. Apalagi, ia juga pernah mengalami kekerasan seksual tersebut. Ia ingin menyembuhkan dirinya dengan cara membantu orang lain yang mengalami hal serupa.
Berawal dari Cuitan di Media Sosial
Tindak kekerasan seksual memiliki dampak secara fisik, psikis, dan sosial. Korban bisa terluka secara fisk, bahkan tertular penyakit seksual atau kehlangan nyawa. Mereka juga bisa mengalami ketakutan, depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri. Mereka juga mendapatkan stigma dan penolakan dari keluarga atau masyarakat.
Justitia mengerti apa yang dirasakan oleh para perempuan yang mendapatkan pelecehan dan kekerasan seksual. Besarnya empati ini menuntun lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini untuk bertindak lebih jauh.
Pada Juni 2020, Justitia yang memiliki profesi sebagai pengacara menulis di akun Twitter (sekarang bernama X). Dalam tweet-nya, ia menawarkan bantuan konsultasi untuk kasus kekerasan seksual. Cuitan ini mendapat banyak tanggapan positif dari warganet.
Dalam waktu 24 jam, Justitia menerima banyak aduan baik melalui e-mail maupun pesan langsung (direct message atau DM). Selain itu, ada juga respon dari dua pengacara yang menawarkan bantuan untuk konsultasi.
Justitia dan teman-temannya kemudian membentuk Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada tahun 2020. Di tahun pertama, KAKG menerima sekitar 150 aduan, yang 80% di antaranya merupakan kasus kekerasan yang berkaitan dengan teknologi (online).
Selain konsultasi online, KAKG juga memberikan pendampingan terhadap klien dalam persidangan di seluruh wilayah Indonesia. Per awal 2024, KAKG telah menerima total 550 pengaduan. Sebesar 93 persen pengaduan dari kaum perempuan.
Justitia dan teman-temannya pada awalnya menggunakan dana pribadi untuk mengelola KAKG. Lambat laun, orang-orang terdekat memberikan donasi kepada mereka.
Saat ini, KAKG sudah menjadi badan hukum Yayasan dan memiliki divisi kerjasama dengan fokus pada pendanaan dan kemitraan. Badan hukum ini memberikan peluang untuk mengakses donasi yang lebih besar, akuntabel, dan transparan.
Menyadari bahwa penyelesaian hukum saja belum cukup, KAKG menggunakan pendekatan holistik sebagai pilar dasar. Pendekatan ini mencakup layanan konsultasi atau pendampingan hukum; rujukan ke mitra untuk pemulihan psikis atau medis; dan rujukan untuk rumah aman.
Apa yang dilakukan oleh KAKG sebatas mendampingi dan memberikan nasihat, tetapi tidak pernah membuat keputusan. Perjalanan mencari keadilan menjadi milik korban, sehingga korban atau agensi korban yang menentukan keputusan sebagai bagian dari kebangkitan atas kekerasan yang mereka alami.
Justitia menjadi intelektual organik. Ia adalah sedikit dari banyak orang yang mengalami kekerasan seksual dan berusaha untuk pulih. Ia memiliki privilese sebagai seorang yang memiliki bekal pendidikan hukum dan memiliki jejaring dalam kariernya. Dan semuanya itu ia pergunakan untuk membela perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
”Saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memanfaatkan berbagai modal dan akses yang saya miliki untuk teman-teman korban yang berjuang sendiri. Bahkan, jika saya tidak menjadi pengacara korban, saya hanya ingin memberi tahu kepada korban bahwa ia tidak sendiri,” tegas Justitia yang juga lulusan University of Chicago Law School, Chicago, Illinois Master of Laws (LL.M.).
Dengan menjadi intelektual organik, Justitia telah memainkan peran kunci dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual, membantu mereka mendapatkan keadilan, dan mendorong perubahan sosial yang lebih luas untuk mencegah terjadinya kekerasan di masa depan.
SATU Indonesia Awards Tahun 2022
Atas dedikasinya dalam memberikan pendampingan bagi korban kekerasan seksual, Justitia Adila Veda mendapatkan penghargaan dari Astra. Ia menjadi penerima Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards Tahun 2022 untuk bidang Kesehatan.
SATU Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi yang diberikan oleh Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan bagi masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.
Apa yang telah dilakukan oleh Justitia ini selayaknya menjadi inspirasi bagi generasi muda. Bahwa kemampuan intelektual yang dimiliki adalah modal besar yang semestinya tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga harus digunakan untuk kebaikan banyak orang.
Referensi:
- Astramagz Edisi Desember 2022
- https://www.kompas.id/baca/tokoh/2023/10/17/justitia-avila-veda-intelektual-organik-pembela-korban-kekerasan-seksual
- https://nasional.tempo.co/read/1896430/tokoh-inspiratif-justitia-avila-veda-pendamping-kaum-hawa-korban-kekerasan-seksual