Jembatan Akar di Baduy
Destinasi

Trip ke Jembatan Akar Baduy

[ A+ ] /[ A- ]

Tahun 2014, aku pertama kali berkunjung ke Baduy, Lebak, Banten. Waktu itu aku berangkat seorang diri dengan bersepeda motor dari Tangerang ke Ciboleger, pintu masuk menuju Baduy.

Dari Ciboleger, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jalurnya naik-turun, karena kondisi geografis Baduy memang berada di perbukitan. Hingga sampailah aku di Baduy Dalam, dan menginap satu malam di Desa Cibeo.

Aku sangat menikmati alam Baduy yang masih asri dengan pepohonan hijaunya. Penduduk Baduy masih memegang teguh adat-istiadat leluhur di tengah zaman modern sekarang ini.

Baca juga: Semalam di Baduy

Keunikan inilah yang membuatku kagum terhadap Baduy. Karenanya, aku sangat antusias mendaftar ketika Komunitas KPK dan Koteka berencana mengadakan trip ke Baduy.

Hari itu pun tiba.

Sabtu, 22 Juli. Jam 7.30 pagi, aku berangkat menuju Stasiun Daru, Kabupaten Tangerang. Dari stasiun ini, aku naik kereta ke Rangkasbitung. Peserta trip yang lainnya berangkat dari Tanah Abang.

Setelah lebih kurang 40 menit, kereta tiba di Rangkasbitung jam 9.05 pagi. Aku menunggu teman-teman lainnya yang tiba sekitar setengah jam kemudian.

Dari Rangkasbitung, kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan angkot carteran menuju Ciboleger. Di kabin depan angkot, ada sopir dan Ojan, pemandu trip. Sementara di belakang, aku bersama dengan Mas Rahab, Mas Bule, Mbak Hida, Mbak Nisa, Amel, Nadus, Bang Aswi, dan Pak Bugi.

Di Ciboleger

Setelah 2 jam, angkot tiba di terminal Ciboleger yang menjadi pintu masuk ke Baduy. Hari itu ada banyak rombongan lain yang juga tiba di Ciboleger dan tentunya akan melakukan perjalanan ke Baduy.

Kondisi terminal Ciboleger ternyata telah berubah dibandingkan saat aku berkunjung pada tahun 2014 lalu. Patung Keluarga Pak Tani di tengah terminal memang masih sama seperti dulu, tapi bangunan-bangunan di sekitarnya sekarang menjadi lebih banyak. Dulu, ada satu minimarket saja. Namun, sekarang sudah ada tiga. Selain itu juga ada penginapan, yang tidak aku lihat sembilan tahun lalu.

Setelah beristirahat sejenak di terminal Ciboleger, kami pun masuk ke pemukiman Baduy Luar dengan berjalan kaki. Ojan yang asli Baduy memandu kami berjalan di jalur berundak, melintasi rumah-rumah panggung khas Baduy.

Bermacam suvenir, hasil bumi, dan minuman dijajakan di rumah-rumah yang berada di kiri-kanan jalur ini. Seperti baju, tas, kain tenun, madu, dan yang lain.

Aktivitas warga juga terlihat. Di salah satu rumah, ada seorang satu ibu tengah membuat kain tenun. Sementara di rumah lain, seorang anak memainkan alat musik gambang diiringi temannya yang memukul semacam kentongan.

Aku lantas teringat kembali pada kunjungan tahun 2014. Ada sekumpulan anak-anak yang juga memainkan gamelan saat itu. Bahkan, aku ikut bergabung memainkan alat musik tradisional tersebut bersama mereka.

Setelah berjalan kaki selama 30 menit, kami tiba di rumah Ojan. Kami beristirahat sejenak dan menikmati makan siang. Menunya nasi dengan lauk telur dadar, ikan asin, tahu dan tempe goreng, kerupuk, serta sambal dan lalapan. Sederhana, tapi terasa nikmat.

Kami juga menikmati kopi Baduy di rumah Ojan ini. Juga, membeli oleh-oleh seperti gula merah, pete, baju kampret, gelang, dan syal.

Hasil kerajinan warga Baduy

Baca juga: Jejak Aroma Lada di Banten dalam Sejarah Jalur Rempah

Dari rumah Ojan, perjalanan dilanjutkan ke tujuan berikutnya. Awalnya, kami berencana ke Kampung Gajebo dengan jembatan bambunya yang menjadi batas antara Baduy Luar dan Dalam. Namun, rencana itu diganti ke jembatan akar.

Rombongan kompasianer kembali ke Ciboleger. Dipandu oleh Ojan yang ditemani keponakannya yang berusia 12 tahun, Dani, kami naik angkot menuju ke Kampung Cakeum. Dari Cakeum, perjalanan dilanjutkan dengan trekking menuju ke jembatan akar.

Berjalan kaki melintasi medan Baduy yang berbukit-bukit tentu tidak mudah. Tak jarang kami berhenti sejenak untuk mengambil nafas berkedok foto bersama di beberapa tempat.

Trekking yang benar-benar menguji stamina. Kami melintasi jalan kampung, pematang sawah, hingga jalan setapak di ladang yang konturnya naik-turun. Dan semua perjuangan itu terbayar begitu kami tiba di tujuan.

Jam 3.30 sore, tibalah kami di jembatan akar. Rupanya ada rombongan lain yang telah tiba di sini terlebih dahulu. Di ujung jembatan, kami menunggu giliran untuk mengabadikan momen di jembatan ikonik ini.

Sambil menunggu giliran berfoto di jembatan akar, aku turun sejenak ke bawah jembatan, ke tepi sungai. Aku duduk di batu berukuran besar, sambil menikmati gemericik air sungai yang berwarna kehijauan.

Giliran untuk rombongan kami pun tiba. Ojan berjalan ke tengah jembatan untuk mengambil foto dan video. Satu per satu kami diabadikan oleh Ojan. Dan akhirnya kami berfoto bersama.

Usai foto bersama, kami berjalan kaki dari jembatan akar dan melewati kembali rute sebelumnya menuju Cakeum. Menjelang maghrib, angkot mengantar kami dari Cakeum menuju Stasiun Rangkasbitung.

Kunjungan ke jembatan akar di Baduy ini benar-benar mengesankan. Aku begitu menikmati alam yang asri, serta kagum melihat masyarakat Baduy yang memegang teguh budaya leluhur.

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *